• This is default featured slide 1 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

  • This is default featured slide 2 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

  • This is default featured slide 3 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

  • This is default featured slide 4 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

  • This is default featured slide 5 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Pengalaman Ku Menemani Wanita Kesepian

ccerita bokep

Ketika itu usiaku 25 tahun dan aku bekerja di sebuah perusahaan asing yang beroperasi di luar Jakarta selama 24 jam sehari, sehingga ada bagian tertentu di kantor pusat yang bertugas dalam 3 shift untuk memonitor kegiatan operasi di lapangan dan aku adalah salah satu pegawainya.
Pada suatu hari ketika sedang tugas malam, aku menerima telepon nyasar sampai 3 kali dari seorang wanita. Akhirnya karena jengkel, timbul keinginanku untuk iseng-iseng menggodanya serta mengajak berkenalan yang ternyata ditanggapinya dengan antusias sampai tidak terasa kami mengobrol selama 1,5 jam di telepon.
Wanita itu memperkenalkan namanya sebagai Lisna (aku memanggilnya Mbak Lis), berusia 34 tahun dan telah bersuami serta mempunyai 3 orang anak. Suaminya seorang pejabat di sebuah instansi pemerintah berusia 48 tahun yang menikahi Mbak Lis ketika dia berusia 18 tahun dan baru lulus SLTA. Anak pertamanya perempuan berusia 15 tahun.
Sejak saat itu aku tidak pernah lagi merasa jenuh dan sepi bila sedang tugas malam karena Mbak Lis sering meneleponku walau hanya sekadar untuk mengobrol saja. Menurut pengakuannya, Mbak Lis merasa kesepian karena sering ditinggal suaminya bertugas ke luar kota dan dia mengetahui suaminya punya simpanan di luar.
Sebagai orang dewasa, pembicaraan kami juga sering menyerempet hal-hal yang agak miring. Kalau sudah begitu, biasanya nada bicara Mbak Lis berubah menjadi sedikit berbisik berat seperti orang bangun tidur sementara aku enjoy dengan kesendirianku di ruang kantor yang dingin ber-AC.
Tak terasa tiga bulan sudah kami bertelepon ria tanpa pernah bertemu muka dan selama itu selalu dia yang meneleponku ke kantor ataupun ke rumah karena aku tidak pernah diberi nomor teleponnya (katanya dia takut ketahuan suaminya).
Suatu siang Mbak Lis menelepon ke rumahku dan mengajakku nonton film, mulanya aku ragu karena merasa belum siap untuk bertemu. Aku berdalih bahwa badanku masih letih karena habis tugas malam, tetapi Mbak Lis tetap memaksa dan meminta bertemu sorenya supaya aku bisa istirahat dulu. Aku lalu menyanggupinya karena tidak mau mengecewakan dia.
Jam 14:30 sehabis mandi, Mbak Lis meneleponku lagi dan kami janjian untuk bertemu di sebuah bioskop dengan tidak lupa memberitahukan ciri masing-masing. Sesampainya di bioskop aku sempat dibuat kesal karena tidak kujumpai wanita dengan ciri-ciri seperti yang dikatakan Mbak Lis, wah jangan-jangan dia mau ngerjain aku nih.
Setelah hampir 1 jam menunggu, tiba-tiba aku merasakan sebuah tepukan ringan di punggungku. Dan ketika aku berbalik, tampak Mbak Lis sudah berdiri di belakangku dengan senyumnya yang membuatku terpana.
“Bayu ya?” sapanya sambil mengulurkan tangan.
“Ya, mm.. Mbak Lis..?” aku balas bertanya agak tergagap sambil menyambut tangannya. Ah, betapa halus dan lembutnya tangan itu.
“Maaf ya terlambat, soalnya macet sih..” katanya kemudian.
“Nggak apa-apa kok Mbak, saya juga belum terlalu lama menunggu”, jawabku berbohong sambil mataku tak lepas menatapnya. Rasa kesalku segera hilang setelah melihat Mbak Lis yang tampak anggun itu.
Sosok tubuh Mbak Lis sedang-sedang saja, tingginya 158 cm, berat sekitar 45 kg, kulitnya kuning halus dan rambut hitam bergelombang sebahu. Wajahnya ayu memancarkan kelembutan seorang ibu dan kalau berbicara ramah sekali dengan selalu diiringi senyum yang tak pernah lepas dari bibir mungilnya yang tipis.
Dia tampak begitu anggun (dan seksi) dengan setelan blus ketat sutra hijau muda berlengan pendek dan celana panjang katun hijau lumut yang menampakkan bulu-bulu halus di tangannya dan lekuk tubuhnya yang sintal. Aku rasanya seperti kehilangan kata-kata untuk berbicara, sampai akhirnya Mbak Lis yang memulai lagi.
“Kita makan dulu yuk, kamu pasti belum makan. Kebetulan di dekat sini ada restoran ayam bakar yang enak lho”, ajaknya sambil menggandeng tanganku.
Kami makan dengan santai sambil berbincang-bincang disertai gurauan yang kadang membuat kami tertawa terpingkal-pingkal. Kulihat Mbak Lis sudah bisa berbicara lebih lepas sehingga suasana kakupun berangsur-angsur hilang.
Sehabis makan kami kembali ke gedung bioskop dan setelah membeli tiket kami menyempatkan waktu untuk melihat gambar-gambar film yang ada di lobby bioskop sambil tetap bergandengan tangan. Tapi kali ini Mbak Lis lebih merapatkan tubuhnya ke tubuhku dengan cara memeluk lenganku bahkan terkadang dia bersikap lebih berani dengan memeluk pinggangku, secara refleks aku pun membalas dengan merangkul bahunya atau memeluk pinggulnya.
Sentuhan bagian depan tubuh Mbak Lis membuat naluri kejantananku tergugah, apalagi ketika kulihat kancing paling atas blus yang dikenakannya sudah terbuka (aku tidak tahu kapan dia membukanya). Tampak belahan sepasang bukit yang mulus mengintip dari balik BH-nya membuat darahku berdesir dan tatapan mataku seakan tak mau lepas darinya.
Ketika pengumuman tanda dimulainya jam pertunjukan terdengar, kami pun memasuki gedung bioskop untuk mencari tempat duduk yang sesuai dengan nomor kursi yang tertera di tiket (sengaja aku memilih tempat duduk di deret paling belakang). Mbak Lis duduk di sebelah kananku sambil tangan kirinya menggenggam dan sesekali meremas tangan kananku.
Tak lama kemudian lampu bioskop dipadamkan dan film dimulai, kami nonton dalam keadaan diam tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Kira-kira 10 menit berlalu, Mbak Lis menyandarkan kepalanya di bahuku dan tangan kanannya menarik tanganku ke wajahnya. Diusapkannya jari-jariku ke pipinya, ke telinganya lalu ke bibirnya sambil memberikan kecupan ringan di setiap jari-jariku.
Ketika aku sedang menatap wajahnya yang tertunduk menciumi jari-jariku, Mbak Lis menengadah dan balas menatapku. Mata kami saling menatap dalam jarak yang sangat dekat, kemudian kuberanikan tanganku mengangkat dagunya dan mencium bibirnya yang tipis. Mbak Lis diam saja, tidak menolak dan juga tidak membalas ciumanku, bibirnya masih terkatup rapat. Aku jadi penasaran dan semakin nekat, kukecup lagi bibirnya dengan sekali-kali mengulumnya.
Akhirnya Mbak Lis bereaksi juga, bibirnya terkuak sedikit dan dia membalas ciumanku, lama sekali kami berciuman sampai kemudian Mbak Lis menghentikannya sambil mendesahkan namaku serta meremas dan menarik kembali tanganku ke bibirnya. Tapi kali ini Mbak Lis tidak hanya menciumi jari-jariku, dia juga mulai memasukkan jariku ke dalam mulutnya dan mengulumnya dengan disertai jilatan-jilatan halus dan gigitan nakal.
“Mbak jadi gemas, Bay”, bisiknya.
“Mbak yang bikin gemas”, bisikku sambil mengecup daun telinganya. Mbak Lis menggelinjang kegelian, membuatku semakin bergairah menciumi daerah sensitif di sekitar telinga dan lehernya itu.
“Aaahh Bayu..” Mbak Lis mendesah lagi.
“Kamu bandel..”
“Tapi suka kan..?” kataku sambil merengkuh wajahnya dan mendaratkan ciuman di bibirnya.
Kali ini Mbak Lis membalas ciumanku dengan bergairah sambil memainkan lidahnya di dalam mulutku, sehingga lidah kami saling berpagutan. Tangan Mbak Lis mulai meremas dadaku. Aku pun tak mau kalah, kuusapkan tangan kiriku pada daerah-daerah sensitif di telinganya, lehernya dan terus turun sampai ke dadanya lalu menyusup ke dalam blusnya.
“Hmm..” terdengar Mbak Lis menggumam dalam kuluman bibirku.
“Ouuhh.. uuhh..” desahnya sambil tangannya mencengkeram leher bajuku ketika kuremas dadanya dan kuraba puting susunya dari balik BH.
“Masukin tangannya, sayang..” kata Mbak Lis sambil membuka satu lagi kancing blusnya.
Kusingkap BH-nya dan kurogoh dadanya yang kenyal, sementara tangan kanan Mbak Lis mulai merambat turun ke perutku dan turun terus sampai ke selangkanganku. Diremas-remasnya batang kemaluanku yang sudah tegang dari luar celana sambil mengerang dan mendesah sementara bibir kami terus berciuman dan mengulum lidah. Kupilin puting susu Mbak Lis dengan jari-jariku sambil meremas dadanya. Ooh.. ingin sekali rasanya aku menciumi dada itu serta menghisap dan menjilati putingnya. Tangan Mbak Lis pun makin bergairah mengusap dan meremas selangkanganku.
“Buka dong Bay..” desah Mbak Lis sambil berusaha untuk membuka zipper celanaku. Kulepaskan pelukanku untuk membantunya membuka kait ikat pinggangku, lalu dengan sigap Mbak Lis memasukkan tangannya ke dalam celanaku dan melanjutkan meremas batang kemaluanku yang masih tertutup celana dalam. Sesekali tangannya merogoh lebih dalam untuk meremas biji-biji kemaluanku. Uuhh.. nikmatnya.
Mbak Lis lalu menyandarkan kepalanya di dadaku, disingkapnya celana dalamku ke bawah sehingga batang kemaluanku kini terbebas dan mengacung seutuhnya seakan memperlihatkan kesiagaannya. Kurasakan kehangatan tangan Mbak Lis ketika mencengkeram batang kemaluanku, meremasnya dan mengusap-usapkan ibu jarinya pada kepala batang kemaluanku, membuatku mendesis menahan rasa geli yang mengalirkan nikmat di sekujur tubuhku.
“Hmm..” kudengar Mbak Lis beberapa kali menggumam sambil memperhatikan dan mengurut batang kemaluanku yang berkedut-kedut dalam genggamannya. Kurasakan kepala Mbak Lis yang pelan-pelan bergerak turun untuk menghampiri batang kemaluanku, rupanya Mbak Lis sudah tidak dapat menahan keinginannya untuk memenuhi ajakan batang kemaluanku yang tegak menantangnya. “Jangan Mbak..” bisikku sambil menahan gerakan turun kepala Mbak Lis karena kusadari situasi di dalam bioskop tidak memungkinkan kami untuk lebih dari sekedar melakukan pekerjaan tangan. Mbak Lis lalu menengadahkan wajahnya menatapku.
“Bayu.. please..” Mbak Lis mendesah meminta persetujuanku dengan tatapan mata sayu sambil tangannya terus mengurut kejantananku.
“Jangan Mbak.. dikocok saja..” balasku sambil menaikkan kaki ke sandaran kursi di depanku yang kebetulan kosong untuk memudahkan Mbak Lis meng-eksploitasi batang kemaluanku.
Kurengkuh wajah Mbak Lis dengan tangan kiriku dan kucium bibirnya yang merekah di hadapanku sementara tangan kananku memeluk bahunya. Kami berciuman lama sekali dengan saling memilin lidah di dalam mulut. Kurasakan tangan Mbak Lis semakin intens meremas dan mengocok batang kemaluanku, sementara mulutnya sesekali menggumam dalam pagutanku ketika dirasakannya tanganku mengelus daerah sensitif di belakang telinganya.
Tangan kiriku kini sibuk membuka kancing blus yang dikenakan Mbak Lis dan menyusup ke dalamnya, meremas dadanya yang kenyal serta mempermainkan puting susunya dengan jari-jariku. Mbak Lis merubah posisi duduknya dengan bersandar di dadaku dan memindahkan kendali atas batang kemaluanku ke tangan kirinya. Didekapkannya kedua tanganku di dadanya sehingga aku lebih leluasa meremas kedua dadanya yang kini telah terbuka karena BH-nya telah kusingkapkan ke atas serta memilin kedua puting susunya yang telah mengeras.
“Aaahh.. oouuhh..” Mbak Lis medesah dan kemudian kulihat tangan kanannya bergerak ke bawah menggosok-gosok selangkangannya dan tangan kirinya semakin keras mencengkeram batang kemaluanku sambil mengusap kepala kejantananku dengan ibu jarinya.
Kurasakan aliran darah di selangkanganku bertambah cepat dan deras, menimbulkan sensasi kenikmatan yang tak terbayangkan.
“Mbak nggak tahan, Bayu..” desahnya sambil menarik satu tanganku ke mulutnya dan kemudian menjilati dan mengulum jariku dengan penuh nafsu.
Akhirnya puncak sensasi itu datang juga ketika kurasakan kawah di selangkanganku menggelegar ingin memuntahkan laharnya. Kutarik tanganku dari dada Mbak Lis dan kucengkeram tangannya yang sedang mengocok batang kemaluanku. Serasa tak sabar, kubantu Mbak Lis mengocok batang kemaluanku lebih kencang. Dan akhirnya.. “Ooouuhh..” aku mendesah tertahan ketika kurasakan batang kemaluanku mengejang kemudian berkedut-kedut memuntahkan cairan kenikmatan yang menyemprot berkali-kali membasahi tangan kami.
“Ooouuhh.. enak sekali Mbak..” kataku sambil melepaskan nafas panjang ketika kurasakan puncak kenikmatanku mereda, batang kemaluanku telah berhenti memuntahkan cairannya dan tinggal menyisakan lelehannya yang kemudian diratakan oleh Mbak Lis dengan jari telunjuk ke seluruh permukaan kepala batang kemaluanku.
Tanpa mengucapkan kata-kata, Mbak Lis sejenak beralih dari pelukanku untuk mengambil tissue dari dalam tasnya. Kemudian sambil kembali bersandar di lenganku, dengan telaten disekanya batang kemaluanku mulai dari kepala sampai ke batang dan pangkalnya. Ah, sejuk sekali kurasakan usapannya. Lalu dilanjutkannya menyeka tanganku dan tangannya sendiri yang terkena semprotan spermaku dengan lembar tissue lainnya.
Mbak Lis lalu mengecup bibirku dengan mesra, tidak kurasakan birahi di kecupannya yang begitu lembut. Seakan telah terlupakan terpaan hawa nafsu yang baru kami alami bersama. Aku kagum padanya, begitu cepat Mbak Lis menetralisir emosinya. Kami lama terdiam sambil berpelukan setelah sama-sama merapikan pakaian yang acak-acakan.
Ketika film berakhir dan lampu bioskop telah dinyalakan, kami saling berpandangan seakan tidak percaya dengan apa yang baru dilakukan. Segera kami berdiri dan bersiap untuk meninggalkan gedung bioskop, sampai kemudian Mbak Lis menahanku dan memandang geli ke arahku.
“Kamu seperti ngompol..” katanya sambil tertawa kecil dan menunjuk celanaku. Dengan penasaran aku menunduk dan ketika menyadari apa yang ditunjuk oleh Mbak Lis, aku pun tersenyum kecut menahan geli dan malu. Ternyata semburan spermaku begitu kuat sehingga ada yang kesasar keluar dan meninggalkan noda basah di celanaku.
“Mbak sih.. sudah ah, nggak usah dibahas”, kataku sambil mencubit pinggang Mbak Lis dan mendorongnya perlahan keluar bioskop.
“Mbak antar kamu pulang ya?” kata Mbak Lis sesampainya kami di luar bioskop.
“Nggak usah Mbak, saya mau langsung ke kantor saja”, balasku.
“Kalau begitu Mbak antar kamu ke kantor boleh kan, please..” desak Mbak Lis. Aku tak dapat menolak dan hanya mengangguk, Mbak Lis lalu menyerahkan kunci mobil dan memintaku untuk mengemudikan mobilnya.
Di dalam mobil kami tidak banyak berbicara, seakan terlarut dalam perasaan masing-masing. Mbak Lis menyandarkan kepalanya di bahuku sambil memeluk dan mengelus-elus lenganku. Tak terasa kami telah memasuki halaman gedung kantorku. Sebelum aku meninggalkan mobil, Mbak Lis kembali mencium mesra bibirku.
“Maaf Bayu, jangan kapok ya?” kata Mbak Lis sambil mengelus pipiku.
“Apanya yang kapok?” balasku sambil mengedipkan mata dan perlahan-lahan keluar dari mobil.
“Kamu bandel..” kata Mbak Lis mencubit lenganku.
“Nanti malam Mbak temanin ya?” Mbak Lis menyambung sambil menarik bajuku dan kami pun kembali berciuman di jendela mobil.

Itulah kisah perkenalanku dengan Mbak Lis yang juga merupakan awal dari affair-ku dengannya yang kemudian berlangsung lebih seru dan lebih panas.
Share:

Bagiku Dia Seorang Mafia Sex

cerita dewasa

Nama saya, sebut saja Ivon, saya tinggal dan bekerja di London, Inggris, di bagian administrasi sebuah perusahaan trading. Waktu itu, saya berusia 28 tahun, tinggi/berat 164 cm/41 kg, dan bentuk badan saya biasa saja, cenderung agak langsing dan tidak bertonjolan di dada dan pinggul.

Saya ingat, malam itu saya sedang berada di kantor untuk menyelesaikan sisa-sisa kerjaan. Sebentar lagi akan libur musim panas selama kurang lebih 2 minggu, jadi saya tidak ingin liburan saya terganggu oleh pikiran tentang kerjaan yang belum kelar. Beberapa yang berpamitan dan mengucapkan happy holidays hanya saya jawab dengan senyum manis dan jawaban pendek “You too!” di sela-sela kesibukan saya menghadap ke layar monitor.
Semua berlangsung begitu saja, sampai akhirnya di kantor kecil itu hanya ada saya, beberapa penjaga malam, dan si pemilik kantor, sebut saja namanya Pak Smith. Agak lama kemudian, saya mendengar ribut-ribut di lantai bawah, suara orang membentak, suara kegaduhan dan banyak lagi. agen poker
Saya merasa agak takut dan mengintip dari jendela ke arah jalanan di bawah sana. Terlihat sebuah mobil mewah berwarna hitam sedang terparkir di depan kantor. Celaka! Pikir saya. Itu pasti segerombolan preman kasar pegawai perusahaan Italia yang menagih uang keamanan. Benar-benar menjengkelkan sekali, karena penyebab ketidakamanan itu adalah mereka sendiri. Tapi jika kantor-kantor kecil seperti kantor saya ini telat membayar tagihan, mereka akan melakukan hal-hal yang diluar perikemanusiaan.
Saya memberanikan diri menuruni tangga untuk mengintip apa yang terjadi di ruang bawah. Saya lihat boss saya, Pak Smith sedang menghitung sejumlah uang dengan tangan gemetar. Di hadapannya, tampak dua orang pria bertubuh tinggi besar. Yang satu berkulit hitam legam dan berkepala gundul, sementara yang satunya lagi berwajah ganteng khas Italia, namun tampangnya juga tampak seram saat itu, dengan memasukkan tangan ke kantong, yang mungkin saja ada pistolnya. Namun ada seseorang lagi bersama dua orang centeng itu.
Seorang wanita berkebangsaan Asia yang kurus tinggi berpakaian mahal. Sebenarnya ia cantik di balik kaca mata biru yang dipakainya, namun gayanya berdiri di depan Pak Smith sambil berkacak pinggang itu benar-benar menyebalkan dan menakutkan.
“Ivon! Tolong ambilkan dua puluh pound dari ruanganmu!” tiba-tiba Pak Smith memekik karena uang yang harus dibayarnya agak kurang.
Dengan tergopoh-gopoh saya berlari ke kantor saya, mengambil dua puluh pound dari laci, lalu berlari kembali menuruni tangga.
“Berikan langsung pada mereka!” ujar Pak Smith yang masih berdiri dengan gemetaran.
Saya menyodorkan dua lembar sepuluh pound itu ke arah mereka, dan si wanita Asia langsung menyambarnya dari tangan saya.
Entah kenapa, tapi wanita itu tidak segera mengalihkan pandangannya, ia menatap saya dari balik kaca mata birunya. Mungkin karena kurang puas, ia melepaskan kacamatanya, dan terus menatap saya. Sepasang mata paling mengerikan dan paling tajam yang pernah saya lihat sepanjang hidup saya. Saya hanya diam terpaku sambil melangkah mundur perlahan.
“Jangan mundur!” bentak wanita itu dengan dialek British yang kental.
Ia lalu mendekatkan wajahnya ke wajah saya, membuat saya menundukkan pandangan karena gemetar.
“Lihat ke arah saya!” bentaknya lagi, masih dengan bahasa Inggris beraksen British yang sangat kental.
Saya melihat ke arah matanya, dan sepasang mata itu tidak lagi setajam tadi.
Ia menunjuk name-tag di dada saya dan berkata, “Ivon. Hmm, Indonesian name, isn’t it?” tanyanya lagi, dengan nada datar.
“Y-Yes, It is.” jawab saya agak terbata-bata, khawatir kalau-kalau ia menyakiti saya.
Pak Smith juga tak kuasa melakukan apa-apa untuk menolong saya, karena dua orang preman tinggi besar itu memperhatikannya terus.
“Kalau gitu, diskon sepuluh pound deh!” ujar wanita Asia itu, benar-benar dengan bahasa Indonesia yang fasih dan lancar.
Ia menyodorkan pada saya lembaran sepuluh pound yang tadi saya berikan padanya, dengan agak gemetar saya menerimanya.
Wanita itu tersenyum dingin, dan berkata lirih, “Maaf Ivon, aku cuma mengerjakan tugas, demi keselamatanku sendiri.”
Lalu ia berpaling ke arah dua rekannya sambil memberi kode mengajak pergi. Pak Smith dan saya hanya diam terpaku melihat ketiga manusia sangar itu meninggalkan ruangan dan membanting pintu dengan keras. Sejenak sebelum menutup pintu, si wanita sempat melirik ke arah saya dan mengerdipkan mata kanannya, seolah memberikan satu isyarat yang saya tidak pernah mengerti.
Setelah malam yang menegangkan itu usai, liburan tiba, dan semuanya berjalan biasa-biasa saja. Saya pergi ke Paris bersama keluarga saya selama seminggu, lalu kembali ke London untuk menghabiskan sisa liburan di sini. Rasanya, saya sudah lupa akan kejadian dengan para debt collector seminggu sebelumnya. Namun apa yang terjadi siang ini seperti membuat saya tidak mungkin melupakan kejadian malam itu.
Saat itu saya sedang menemani tante dan om saya dari Indonesia mengunjungi museum Madame Tussaud. Usai melihat-lihat patung lilin di museum itu, tante dan om saya naik kereta kembali ke hotel mereka, sementara saya masih berjalan-jalan di Bakerstreet (tempat museum tadi berada), karena banyak teman asal Indoneisa yang menginap di apartemen-apartemen sekitar situ.
Waktu saya sedang berjalan cepat di trotoar, saya merasa ada yang berjalan di sebelah kiri saya dengan kecepatan yang sama. Saya tidak terlalu memperdulikan, dan mempercepat jalan saya, namun ia juga mempercepat jalannya hingga terus sejajar dengan saya.
Tiba-tiba ia mencolek bahu saya, “Hi Ivon, lupa sama saya ya?” sapanya dengan bahasa Indonesia.
Saya menengok ke arahnya dan kaget setengah mati. Wanita Asia yang kerja untuk Mafia itu! Saya sempat berniat kabur, namun ia memegangi lengan saya.
“Hey, jangan kabur dong!” ujarnya ramah, meski mengenggam kuat lengan saya.
Akhirnya saya pasrah saja diajaknya minum di sebuah kafe pinggir jalan.
Saya waswas melihat ke kiri kanan, kalau-kalau dia ditemani dua orang centengnya tempo hari. Tapi ia tampak tenang saja sambil tertawa-tawa mengatakan bahwa dia sedang diluar jam kerja.
Singkat cerita, kami mengobrol panjang lebar di kafe itu. Lambat laun, rasa takut saya mulai hilang, berubah jadi rasa persahabatan. Maklum, di negeri orang, siapapun yang sebangsa dengan kita akan menjadi sahabat yang sangat baik, siapapun dia.
Namanya, sebut saja Jenny. Ia menceritakan sejarah kedatangannya ke Inggris untuk menyelesaikan S2-nya, juga tentang keterlibatannya dengan para Mafia itu, yang disebabkan karena ia sedang kesulitan ekonomi. Ia berencana untuk mengumpulkan uang dulu sebelum meninggalkan Inggris. Ia bercita-cita untuk pulang ke Indonesia, dan bekerja memanfaatkan gelar MBA-nya selama beberapa tahun, lalu membuka usaha sendiri berbekal pengalaman dan manajemen Italia yang dipelajarinya di lingkungan Mafia ini. Saya bersimpati padanya, sekaligus mengagumi keberaniannya menceburkan diri ke lingkaran yang begitu ‘hitam’ dan berbahaya itu.
“Kamu nggak punya boyfriend kan?” tebak Jenny di sela obrolan.
“Kok kamu tahu?” tanya saya balik.
“Old Fashioned dan pendiam, kalau nggak dijodohin mana mungkin dapat pacar?” katanya sambil tertawa kecil.
Saya tersipu malu, menyadari bahwa ‘tongkrongan’ saya memang terkesan tertutup, saya juga pendiam dan tidak banyak bicara. Beda dengan Jenny yang tampaknya ceplas-ceplos dan tidak kenal takut atau malu. Dia dapat berkelakar dalam bahasa Indonesia maupun Inggris dengan sangat lancar, bahkan dengan para waiter di kafe itu, yang baru saja dikenalnya. Diam-diam, saya bersyukur dapat berkenalan dengan seorang ‘putri mafia’ (nama ejekan saya untuknya) seperti dia ini.
Tanpa terasa hari mulai malam, dan Jenny mengajak saya meninggalkan kafe. Karena apartemen saya agak jauh, ia menyarankan saya untuk tinggal di apartemennya. Saya menurut saja karena sudah terlanjur percaya. Ia mengajak saya berjalan kaki melewati jalan-jalan yang saya belum pernah lewati, daerah-daerah lampu merah, daerah kumuh, dan daerah pusat hiburan malam. Benar-benar sisi lain dari London yang tidak pernah saya lihat, meski saya sudah menetap disini selama 3 tahun.
“Nggak usah takut, Von.” katanya sambil melangkah cepat, “Kita aman di daerah sini.”
Saya berusaha untuk tetap tenang, meski di kiri kanan saya melihat pria-pria bertubuh besar sedang mabuk atau teler karena narkoba. Wanita-wanita jalang juga tampak berkeliaran di daerah yang saya tidak tahu namanya itu. Namun Jenny berjalan dengan cuek, sambil sesekali menyapa orang di sekitar situ dengan akrab. Saya sempat heran, orang macam apa sebenarnya teman saya ini.
Akhirnya kami sampai di apartemennya. Sebuah apartemen yang dari luar tampak kumuh dan jelek. Namun begitu saya masuk ke kamarnya, semuanya terasa berbeda. Meski tidak besar, ruangannya tertata rapih dan dipenuhi perabotan kelas menengah, penghangat listrik, seperangkat laptop, juga ponsel (yang pada tahun itu belum begitu populer). Satu hal yang membuat saya bergidik adalah sepucuk pistol kecil berwarna perak tergeletak di samping ponselnya.
Ia mempersilakan saya duduk di ranjang, lalu membuatkan saya segelas teh hangat. Darjeeling tea, teh yang tergolong mahal. Ketika saya bertanya tentang teh itu, Jenny menjawab bahwa teh itu diambilnya dari sebuah hotel kecil tempat ia menagih hutang. Tanpa rasa risih, Jenny menanggalkan celana panjang dan raincoat-nya. Sambil hanya mengenakan kaos oblong dan celana dalam, ia mondar mandir di situ. Mencuci muka, sikat gigi, dan menyisir rambut, seolah-olah sudah sangat akrab dengan saya. Diam-diam saya iri melihat tubuhnya yang ramping dan cukup jangkung untuk ukuran Indo, sangat menarik. Saya kira tidak akan ada pria ataupun wanita yang tidak mencuri pandang ke arahnya saat berada di tempat umum.
“Ngeliatin apa, Von?” tanyanya membuat saya tersipu.
“Ngeliatin badan kamu.” jawab saya mencoba untuk tidak malu, “Bagus banget.”
“Hihihi.” ia tertawa kecil, “Kamu juga sexy kok.”
Terus terang, saya kege-eran juga mendengar pujiannya. Apalagi setelah ia mengatakan itu, ia menatap saya dalam-dalam sambil menyunggingkan senyum aneh.
Ia lalu melangkah mendekati saya. Saya terpaku di bibir ranjang sambil memegangi cangkir teh yang sudah kosong, seolah tidak tahu harus berbuat apa. Dengan was-was saya melirik ke arah buffet tempat pistolnya berada, dan merasa agak tenang karena pistol itu masih ada di situ. Tiba-tiba dia sudah ada di hadapan saya.
“Mana gelasnya?” bisiknya sambil meraih cangkir dari tangan saya dan meletakkannya di karpet.
“Kamu manis sekali, Von.” bisiknya lagi, sambil melepaskan kacamata saya yang minus tujuh.
Lalu ia naik ke ranjang dan memeluk saya dari belakang.
Mula-mula saya gemetar dan takut mengingat bahwa Jenny adalah seorang anggota mafia, ditambah juga perasaan rikuh karena dipeluk sesama wanita. Saya mencoba untuk berontak secara halus.
Namun ia tetap memeluk pinggang saya dan berbisik di kuping kiri, “Jangan takut, Von. Nikmati saja.”
Saya hanya bisa diam dan mencoba menikmati.
Ia lalu membuka satu persatu kancing baju saya yang terletak di bagian belakang, sampai punggung saya benar-benar terbuka di hadapannya. Dengan lembut juga ia melepaskan kaitan BH di punggung saya. Lalu terasa tangannya yang halus memijat dan mengelus punggung saya. Hangat dan lembut.
“Punggung kamu halus sekali, Von.” bisiknya, “Pasti kamu rawat dengan baik, ya? Hmm?”
Ia lalu membelai rambut saya yang lurus dan panjang sebahu, disibakkannya ke samping, lalu lagi-lagi ia memuji saya, “Tengkuk kamu bagus, aku terangsang banget ngeliatnya, boleh aku cium?”
Tanpa menunggu jawaban saya, ia langsung menciumi leher dan tengkuk saya. Saya memejamkan mata merasakan kehangatan itu. Kehangatan yang belum pernah saya rasakan selama hidup, karena saya belum pernah sekalipun berpacaran.
Ciumannya menjalar kemana-mana, ke dagu saya, rahang, telinga, aahh rasanya geli sekali, namun membuat saya jadi lupa daratan, dan menyerahkan diri padanya. Tangannya mulai meraba-raba ke balik baju saya, mengelus-elus perut saya, sambil mulutnya terus membisikkan kata-kata indah memuji keindahan tubuh saya. Kata-katanya membuat perasaan saya jadi PD (percaya diri), karena selama ini saya minder dengan tubuh saya yang kurus.
Lidahnya menjilat-jilat punggung saya, tengkuk saya, dan bahu saya. Kulit saya terasa merinding dan badan saya menggelinjang kecil. Hal itu membuat Jenny makin bersemangat. Ia melucuti baju dan BH saya hingga tubuh bagian atas saya benar-benar telanjang. Ia menyuruh saya berdiri dan menjauh dari ranjang. Saya menurut saja, meski merasa agak gila.
Di bawah sinar lampu yang terang benderang, saya berdiri setengah telanjang di hadapan seorang wanita yang baru saja saya kenal tadi siang. Wanita mafia pula! Namun entah kenapa, saya menikmati permainannya, saya menikmati tatapannya yang lekat ke sekujur tubuh saya. Bola matanya tampak tajam menatap dua buah dada saya. Seharusnya saya merasa malu, namun saya malah menegakkan tubuh, membusungkan dada, hingga Jenny bebas menikmati keindahan dua susu saya yang berwarna lebih terang dibandingkan tubuh saya yang sawomatang, lengkap dengan dua putingnya yang coklat tua.
Jenny terbaring miring di ranjangnya dengan pose yang amat merangsang. Garis pinggulnya tampak begitu indah, pahanya yang mulus dan putih bersih begitu panjang dan menggoda. Kaosnya oblongnya agak tersingkap ke atas, membuat perutnya yang indah mengintip nakal. Celana dalam yang dipakainya pun hitam transparan menunjukkan rambut-rambut halus di selangkangannya. Matanya meredup dan bibir basahnya berbisik agar saya kembali naik ke ranjang.
“Kamu cantik sekali Von.” bisiknya lagi saat saya menelentangkan diri di ranjang.
“Kamu juga, Jen.” saya sudah mulai berani menjawab.
Ia lalu mendekatkan wajahnya, lalu mulut-mulut kami berciuman dengan mesra. Saat itulah saya pertama kali berciuman, merasakan lidahnya masuk ke mulut saya, menjilat dan menghisap-hisap bibir bawah saya, mm, nyaman sekali.
Bibirnya lalu melepaskan bibir saya dan beranjak menuruni rahang dan leher saya. Lidahnya yang hangat berputar-putar di pangkal susu saya, membuat saya kegelian. Tangan saya membelai-belai rambutnya yang lurus dan pendek seleher.
Entah kenapa, tapi saya merasakan hal yang berbeda. Saya merasa dikagumi, diperhatikan, dan dicintai. Sebuah perasaan yang tidak pernah saya dapatkan dari siapapun kecuali orang tua saya. Namun kali ini rasanya benar-benar lain.
“Von, susu kamu indah sekali.” bisiknya dengan suara setengah merintih.
“Ciumin dong Jen.” pinta saya tidak sabar.
“Haa, kamu udah pengen ya?” godanya.
“Kok tau sih?” jawab saya kembali menggoda.
“Pentil kamu udah tegang gini.” jawabnya cuek sambil menatap ke dua puting susu saya.
Saya mengangkat kepala untuk melihat ke susu saya, dan benar, kedua puting ini tampak berdiri meruncing. Saya tersipu malu. Namun Jenny segera menangkap puting susu saya dengan mulutnya.
“Engghh..” saya langsung mengerang sambil menggelinjang ketika puting susu saya dihisapnya.
Saya mendongakkan kepala, merem melek dan mengerang-ngerang. Aduhh, puting susu saya rasanya begitu nikmat. Saya tidak tahu apa yang Jenny lakukan, namun kedua puting saya tidak henti merasakan belaian lembut dan hisapan-hisapan halus. Rasa nikmatnya mengalir ke seluruh badan sampai rasanya seperti lemas dan pasrah padanya. Ohh, benar-benar mabuk kepayang. Betapa tidak, rasanya nikmaat sekali. (Mengetikkan cerita ini saja membuat dua puting susu saya terangsang lagi mengingat rasanya).
Entah berapa lama Jenny memainkan susu saya, tapi rasanya seperti bertahun-tahun terperangkap dalam rasa nikmat. Sampai-sampai vagina saya terasa gatal dan mengeluarkan cairannya. Padahal hanya susu saya saja yang dimainkannya. Aduhh, Jenny benar-benar mengerti bagaimana menaklukkan seorang wanita innocent seperti saya ini. Ia terus mengulum, menjilat, dan menghisap, dan entah ngapain lagi di kedua puting saya ini, yang jelas saya begitu menikmatinya. Sampai saya mencengkeram tengkuknya agar mulutnya tidak lari dari puting saya. Mata saya ‘kiar-kier’ menahan nikmat, mulut saya terus mengerang-ngerang keenakan.
“Uhh, Ohh.. Ahh.. Jennyy.. Aduhh.. enaknyaa.. Ohh..”
Jenny seperti tidak perduli, ia terus saja membuat kedua puting ini merasakan rangsangan luar biasa. Badan saya menggelinjang-gelinjang hebat, punggung saya terangkat-angkat dari ranjang karena tidak kuat menahan enaknya permainan ini. Tiba-tiba Jenny berhenti. Saya terengah-engah lemas, dua susu saya terasa menyesak dan berat.
“Von.. Oi, buka mata kamu, Von..!” ujar Jenny sambil masih memilin-milin puting saya.
Saya membuka mata dan susah payah mengangkat kepala melihat ke arah dada saya. Astaga! Puting-puting saya yang selama ini coklat tua, kini jadi berwarna merah daging, dan begitu besar. Tidak pernah saya melihat puting saya sendiri berdiri begitu tingginya. Dua susu saya pun terasa agak membengkak.
“Ohh, Jenny.. kamu apain susuku..?” desah saya naif.
“Belum pernah ya?” bisiknya menggoda, “Tapi enak kan?”
Saya mengangguk lemah sambil berusaha tersenyum. Tangan saya meraih susunya dari balik kaos, tapi ia menepiskannya.
“Eits, mau balas dendam ya? Nggak boleh!” godanya nakal.
God, saya merasa jatuh cinta padanya, pada kenakalannya, pada kedewasaannya.
Tanpa banyak bicara, Jenny lalu melucuti celana dan celana dalam saya. Sudah tidak ada lagi rasa takut, malu, atau risih di hadapannya, malah saya merasa tidak sabar menanti permainan berikutnya. Dilemparkannya celana panjang saya jauh-jauh. Lalu ia menciumi paha saya.
“Wow, paha kamu halus banget! Aku jadi iri!” ujarnya sambil menciumi.
Saya agak malu, karena paha dan kakinya jelas-jelas lebih panjang dan lebih indah.
“Kangkangin dong, aku pengen lihat lebih jauh!” katanya lagi.
Saya mengangkangkan paha saya lebar-lebar, membiarkannya melihat jelas-jelas kemaluan saya. Saya agak heran melihatnya menggeleng-gelengkan wajah cantiknya sambil menatap kemaluan saya.
“Kenapa, Jen?” tanya saya ragu.
“Aghh..” saya terhenyak sedikit ketika ia mencolek kemaluan saya.
“Lihat nih!” Jenny menunjukkan jarinya yang dibasahi oleh lendir kental bening, banyak sekali, “Kamu udah terangsang banget ya, Von?”
“Gimana nggak terangsang?” tanya saya balik, “Abis kamu gituin sih.”
Jenny tersenyum sekilas, lalu membenamkan wajahnya di selangkangan saya. Dan saat itulah saya merasakan hal terindah dalam hidup saya.
“Ngghh.. Jennyy..” saya memekik keras menyebutkan namanya saat Jenny mulai menggerakkan lidah dan bibirnya di kemaluan saya.
Ohh, saya tidak tahu apa yang dilakukannya di bawah sana, tapi rasanya sungguh nikmat. Saya terhentak-hentak merasakannya, wajah saya meringis keenakan, menggeliat-geliat untuk menahan rasa nikmat yang luar biasa ini. Saya seperti bingung, berusaha meraih dan mencengkeram apapun yang dapat saya raih, sprei, bantal, tiang ranjang, apapun. Sementara mulut Jenny di bawah sana mengeluarkan bunyi berkecipak.
Kemaluan saya terasa seperti digosok keras-keras oleh benda lunak dan lembab, enak sekali. Tiap gesekannya terasa nyetrum ke seluruh badan ini. Kepala saya terangkat-angkat dari ranjang, paha saya menghimpit kepala Jenny. Tiak lama kemudian, Jenny memasukkan jarinya ke lubang kemaluan saya. Uhh, pada saat yang sama, saya mencapai klimaks kenikmatan.
“Aduhh Jennyy.. Oughh..” serasa ada yang menyembur keluar dari kemaluan saya, begitu deras dan nikmat.
Saya sampai meremas sendiri dua susu saya untuk menambah kenikmatan, hingga semuanya sempurna. Lalu saya merasa lemas sekali. Terkulai dan terengah-engah kelelahan. Saya memejamkan mata, menikmati sisa-sisa orgasme pertama yang saya rasakan. Terasa Jenny meninggalkan ranjang, mengecup kening saya, lalu saya tertidur di tengah kenikmatan maha dahsyat ini.
Pagi berikutnya, saya baru terbangun dari tidur panjang saya yang begitu nikmat. Badan terasa segar dan nyaman, meski kedua kaki saya terasa agak pegal. Saya bangkit duduk, dan cepat-cepat menarik selimut untuk menutupi badan telanjang saya. Betapa tidak, di ruangan itu, Jenny tidak sendiri bersama saya. Wanita itu tampak sedang berbicara dengan seorang pria berwajah Italia. Bukan salah satu dari centengnya kemarin, tapi seorang pemuda ganteng berkaca mata, dengan dandanan yang rapih.
“Wah, pacarmu sudah bangun rupanya.” ujar si pria Italia saat melihat saya terjaga.
“Ya, dan itu berarti waktumu untuk pergi.” jawab Jenny dengan dialek British yang amat sempurna.
“Oke, aku pergi.” jawab pria Italia itu sambil tersenyum.
“Hey, suatu saat aku ingin bertukar tempat denganmu!” seru pria itu sambil menatap ke arah saya dengan senyuman ramah.
“Kalau aku mau, nanti malam juga bisa!” canda Jenny sambil menepuk bahu pria itu, mengantarkannya keluar kamar.
Aku agak tertegun setengah marah mengetahui Jenny membiarkan orang lain masuk ruangan saat aku masih tertidur dalam kondisi telanjang bulat. Namun aku seperti tidak tega mengutarakan perasaan itu. Aku melihat Jenny membawa nampan berisi sarapan pagi ke dekat ranjang dan mempersilakanku makan. Aku menurut saja, karena memang permainan semalam membuatku kelaparan pagi ini. Jenny berdiri bersandar di dinding sambil melihatku makan.
Pagi itu ia tampak segar dan cantik. Rambutnya yang pendek seleher diikat ke belakang hingga tengkuknya yang jenjang terlihat begitu indah. Ia mengenakan kaos T-Shirt hijau tua dan celana pendek putih, memamerkan kaki-kakinya yang bagus itu. Ia melihatku makan dengan tatapan bahagia. Sejujurnya, aku amat terharu dengan sikap manisnya padaku.
“Von..” ujarnya lirih.
“Kenapa, Jen?”
“Maaf ya, semalam aku kurang ajar sama kamu.” sambungnya, “Maaf juga soalnya aku biarin temanku tadi masuk.”
“Nggak apa-apa Jen.” jawab saya berusaha maklum, “Semalam itu.. indah sekali.”
Jenny tersenyum. Senyum yang ramah, hangat, dan bersahabat. Namun.., hanya itu. Senyuman seorang sahabat, bukannya senyuman mesra seorang kekasih. Melihat senyumnya, saya merasa agak patah hati juga, karena sudah merasa jatuh cinta kepadanya. Saya terdiam, dan tanpa sadar air mata mengalir di pipi saya.
“Aku tahu apa yang ada di hati kamu, Von.” ujar Jenny membaca situasi.
“Tapi aku juga ngerti, kamu nggak mungkin bisa hidup bareng aku.” lanjutnya lagi.
Ia lalu melangkah menghampiri saya dan mengangkat nampan sarapan pagi dari pangkuan saya. Setelah meletakkan nampan itu di meja, ia kembali naik ke ranjang di sisi saya.
“Aku sayang sama kamu, kok!” ujarnya sambil mengecup kening saya, “Itu sebabnya aku nggak ingin kamu terlibat jauh di hidupku.”
Saya memeluknya erat-erat, tanpa tahu harus berkata apa pada seorang yang baru saja ‘memerawani’ saya ini.
“Kamu ngerti maksudku kan?” tanyanya lagi dengan penuh harap.
Semula saya merasa sedih. Saya benar-benar ingin melewatkan hidup saya bersamanya terus. Tidak pernah ada orang yang membuat saya merasa begitu aman, tenang, nyaman, dan membuat saya merasa begitu dicintai dan dikagumi. Hanya dia, Jenny, yang memberikan semuanya pada saya. Namun saya melihat sekeliling, lemari pakaiannya kebetulan terbuka, memamerkan gaun-gaunnya yang mahal dan berwarna warni, sederet sepatu yang menjadi impian tiap wanita, laptop dan ponsel yang menunjukkan tingkat kemapanan hidupnya, lalu.. ah.. pistol keperakan itu.
Bagaimana saya dapat hidup damai dan bermesraan dengan seorang yang berkeliaran di lorong-lorong gelap London dengan menenteng pistol kemana-mana? Yang bergaul dengan preman-preman dan penjahat? Yang dengan entengnya mengobrak-abrik kantor atau toko seseorang karena telat membayar tagihan? Semuanya berkecamuk dalam otak saya.
Namun, hey. Ivon sekarang sudah dewasa! Pikir saya. Sekarang saya lebih percaya diri, dan sadar bahwa hidup ini indah dan tidak menakutkan. Mungkin saya bisa setegar Jenny, atau lebih dari dia? Mungkin juga saya dapat menemukan peluang lain yang membuat hidup saya lebih berarti daripada sekedar karyawan admin di sebuah perusahaan kecil? Rasa cinta dan kagum bercampur dengan haru dan terimakasih berkecamuk di dada saya. Namun saya juga sadar, jika saya harus melanjutkan kehidupan saya tanpa Jenny.
“Hey, cool dong!” hiburnya, “Kita bisa ketemu lagi kapan-kapan kalau kamu mau. Saat liburan kayak gini kan bisa juga?”
Saya mencoba tersenyum nakal. Ia membalas senyuman saya dengan nakal juga. Iseng-iseng saya meraih dan meremas susunya yang kanan, sambil menjentik-jentik putingnya dari balik bajunya. Jenny menatap saya. Pelan-pelan matanya meredup, lalu setengah memejam. Saya melepaskan susunya dari tangan saya.
“Kok berhenti?” tanyanya sambil kembali membuka mata.
“Emang boleh?” tanya saya.
“Kenapa enggak?” tanya Jenny balik sambil melucuti pakaiannya sendiri.
Jenny segera telanjang bulat berdiri di samping ranjang. Indah sekali tubuhnya, kulitnya halus mulus dan putih bersih. Kakinya panjang indah, begitupula lehernya. Wajahnya amat cantik, berkesan cerdas namun dingin. Kedua buah susunya tidak besar, namun kencang dan indah. Puting-putingnya berwarna merah jambu kecoklatan, dan tampak agak terangsang oleh sentuhan saya tadi. Saya duduk di sisi ranjang, wajah saya tepat menghadap ke dua putingnya. Tanpa banyak basa-basi, saya mendekap pinggangnya, dan mengisap puting susunya. Mmm.., puting susu hangat itu terasa lucu dalam mulut saya. Saya jilati, saya hisap-hisap.

Terdengar rintih erangan Jenny setiap kali lidah saya menyentuh puting itu. Terasa sekali puting itu mengencang, membengkak dalam mulut saya. Kami berbagi kehangatan dengan sangat mesra pagi itu, dan kejadian itu sempat terulang beberapa kali lagi di hari-hari setelahnya, sampai kemudian saya mendapati apartemennya kosong dan teleponnya tidak diangkat. Ia benar-benar telah pergi jauh dari kehidupan saya. Mungkinkah ia telah mencapai cita-citanya? Mungkinkah ia sudah berada 2 meter di bawah tanah? Saya tidak tahu. Saya tetap akan mengenangnya, karena dia adalah yang pertama bagi saya.
Share:

Aku Dan Tante Weli

cerita dewasa

Ada yang bilang kalo tante girang itu mengalami puber kedua, dan gairah seks nya makin tinggi ketika memasuki puber kedua.
Berawal dari nafsu beringas tanteku. Tante Weli sebenernya tante ku sendiri. Namun, akhirnya ia kusetubuhi. Atau lebih tepatnya, tante yang menyetubuhiku. Apa pasal? Karena nafsu hiperseksnya belum terlampiaskan, Tante Weli pun memaksaku. Bahkan ia mengancam akan berteriak dan mengatakan bahwa aku akan memperkosanya, jika aku menolak keinginannya bercinta. Duhhh tante, besok lagi ya
Pagi itu aku sedang membereskan pakaianku untuk dimasukkan ke dalam koper. Ayahku memperhatikan dengan wajah sedih karena aku satu-satunya anak lelakinya harus pergi demi meraih masa depanku. Aku akan tinggal di Kota Surabaya bersama Tante dan Oomku.
“Papa harap kamu bisa menjaga diri dan berbuat baik, menurut pada Om Benny dan Tante Lenny..” kata papaku.
Aku hanya diam menoleh menatap papaku yang nampak kurang bersemangat karena kepergianku, lalu kupeluk papaku.
“Saya tidak akan mengecewakan Papa..” kataku sambil menuju ke pintu.
Aku naik angkot menuju ke terminal bus. Ketika sudah di atas bus, aku membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya sambil berharap semoga cita-citaku dapat tercapai. Sesampainya di terminal, aku melanjutkan dengan naik angkot menuju perumahan mewah di daerah Darmo.
“Apa ini rumahnya..?” kataku dalam hati.
Nomornya sih bener. Maklum aku belum pernah ke rumahnya.
“Gila.., ini rumah apa istana..?” gumamku bicara pada diriku sendiri.
Aku segera menekan bel yang ada pada pintu gerbang. Beberapa saat kemudian pintu gerbang dibuka. Seorang satpam berbadan gemuk mengamatiku, lalu menegurku.
“Cari siapa ya..?” tanyanya.
“Apa betul ini rumah Oom Benny..?” tanyaku balik.
“Ya betul.. sampean siapa?” tanyanya lagi.
“Saya keponakan Oom Benny dari Jember.”
“Kenapa nggak bilang dari tadi, Sampean pasti Den Welly, kan..? Tuan sedang keluar kota, tapi Nyonya ada lagi nungguin.”
Sekejap aku sudah berada di ruangan dalam rumah mewah yang diisi perabotan yang serba lux. Tak lama kemudian seorang wanita cantik berkulit putih bersih dan bertubuh seksi muncul dari ruang dalam. Kalau kutebak usianya sekitar 35 tahunan, tapi bagikan seorang gadis yang masih perawan.
Dia tersenyum begitu melihatku, “Kok terlambat Well..? Tante pikir kamu nggak jadi datang..” ucap wanita seksi itu sambil terus memandangiku.
“Iya Tante.. maaf..” jawabku pendek.
“Ya sudah.., kamu datang saja Tante sangat senang.. Pak Bowo.., antarkan Welly ke kamarnya..!” perintah Tante Lenny pada Bowo.
Lalu aku mengikuti Pak Bowo menuju sebuah kamar yang ada di bagian bawah tangga. Aku cukup senang menempati kamar itu, karena aku langsung tertidur sampai sore hari. Ketika bangun aku segera mandi, lalu berganti pakaian. Setelah itu aku keluar kamar hendak jalan-jalan di halamanbelakang yang luas. Ketika sedang asik menghayal, tiba-tiba suara lembut dan manja menegurku. Aku agak kaget dan menoleh ke belakang. Ternyata tanteku yang sore itu mengenakan kimono dengan rokok di tangannya, rupanya ia baru bangun tidur.
“Oh Tante..” sapaku kikuk.
Tante tersenyum, dan pandangan yang nakal tertuju pada dadaku yang bidang dan berbulu lebat. Badanku memang cukup atletis karena sering berenang, fitness, dan aku memang mempunyaiwajah yang lumayan ganteng.
“Kamu sudah mandi ya, Wel..? Tampan sekali kamu..” kata tanteku memuji.
Aku kaget bukan main ketika ia mendekatiku, tangannya langsung mengelu-elus penisku, tentu saja aku jadi salah tingkah.
“Saya mau ke kamar dulu Tante..” kataku takut kalau nanti dilihat Oom Benny.
“Tunggu sebentar Wel, Tante ingin minta tolong mijitin kaki Tante.., soalnya keseleo waktu turun tadi..” kata Tante Lenny sambil merengek.
Lalu dia duduk seenaknya, hingga kimono yang tidak dikancing seluruhnya tersingkap, dan bagian dalam tante terlihat olehku. Gila.., ternyata ia tidak memakai CD, sempat juga kulihat bulu-bulu tipis di sekitar kemaluannya seperti habis dicukur.
Aku menahan nafas dan mencoba mengalihkan pandangan, tapi Tante Lenny yang tahu hal itu malah menarik lenganku dan mengangkat kaki kanannya menunjukkan bagian yang sakit. Aku terpaksa melihat betis dan paha tante yang mulus dan padat itu.
“Tolong diurut ya Wel.., tapi pelan-pelan aja ya..” ucapnya lembut.
Terpaksa aku memijit betis tanteku, meskipun hatiku cemas dan bingung. Apalagi ketika aku mencuri pandang melihat paha dan selangkanganya, sehingga nampak sekilas bagian yang berwarna merah muda itu. Tanteku melirik ke arahku sambil tersenyum genit, aku semakin bingung dan malu.
Itu pengalamanku di hari pertama di rumah Oom Benny. Sudah tiga Hari Oom Benny belum pulang juga, padahal aku ingin bertemu dengannya, sedangkan tiap malam aku diminta oleh tante untuk menemaninya ngobrol, bahkan tidak jarang disuruh menemani menonton VCD porno. Benar-benar gila.Hingga pada suatu malam tanteku merintih kesakitan. Waktu itu tante sedang nonton TV sendirian.
Tiba-tiba wanita itu memekik, “Achh.., aduh.., tolong Wel..!” keluhnya sambil memegangi keningnya.
“Kenapa Tante..?” tanyaku kaget dan khawatir.
“Kepala Tante agak pusing.., aduh.. tolong bawa Tante ke kamar Wel..!” keluh tante sambilmemegangi kepalanya.
Aku jadi kebingungan dan serba salah.
“Saya panggil Pak Bowo dulu ya Tante..?” usulku sambil ingin pergi.
Tapi dengan cepat tanteku melarangnya, “Nggak usah, lagi pula Pak Bowo Tante suruh ke Pasuruan ngawal barang.”
Aku jadi bertambah bingung. Terpaksa kutuntun tanteku untuk naik ke ruang atas. Tante merebahkan kepalanya pada pelukanku, aku jadi gemeteran sambil terus menaiki tangga.Sesampainya di dalam kamar, tante merebahkan tubuhnya yang seksi itu dengan telentang. Aku menarik napas lega dan bermaksud meninggalkan kamar. Baru saja kubalikkan tubuh, suara lembut itu melarangku.
“Kamu mau kemana..? Jangan tinggalkan Tante.., tolong pijitin Tante.. Wel..!”
Mendengar itu seluruh tubuhku jadi teringat pesan papa agar menuruti perkataan Oom dan Tanteku.
Perlahan kubalikkan badan, ternyata tanteku telah melepas kimononya. Dan kini hanya tinggal CD saja. Tubuhnya yang masih padat membuat nafsuku naik, payudara yang masih montok dan menantang itu membuat penisku mulai tegang, karena aku belum pernah melihat keindahan tubuh wanita dalam keadaan telanjang seperti ini, apalagi tanteku menggeliat perlahan. Desahan bibirnya yang tipis mengundang nafsu dan birahiku, dan penisku semakin dibuatnya tegang. Kuberanikan diri melangkah menuju ranjang.
Begitu sampai, tanteku yang pura-pura pusing itu tiba-tiba bangkit, lalu memelukku dan mencium bibirku dengan penuh nafsu. Wanita yang hipersex itu dengan cepat melucuti seluruh pakaianku.
“Jangan Tante.., jangan, saya takut..” pintaku sambil mau memakai pakaianku kembali.
“Kalo kamu menolak, Tante akan teriak dan mengatakan pada semua orang bahwa kamu mau memperkosa Tante..” ancam tanteku.
Aku hanya terdiam dan pasrah. Wanita itu kembali mencumbuku, diciuminya dan dijilatinya tubuhku. Begitu tangan halusnya mengenggam penisku, aku langsung membalas ciumannya dan mulai menjilati payudaranya, lalu kukulum putingnya yang berwarna merah agak kecoklatan itu. Tanteku mendesah perlahan.
Selanjutnya kami memainkan posisi 69, sehingga penisku dihisap dan dikemutnya. Nikmat sekali, kurenggangkan kedua pahanya sambil kujilat-jilat kemaluannya yang mulai basah itu.
“Ahh.., aahh.., ayo terus jilat Wel..! Jangan berhenti..!” erang tanteku keenakan.
Rupanya tanteku mengeluarkan cairan dari dalam liang kewanitaannya. Cairan itu memuncrat di wajahku, lalu kuhisap dan kutelan semua. Aku semakin terangsang, kujilati lagi kali ini lebih dalam, bahkan sampai ke duburnya. Kemudian kami berganti posisi, kali ini aku berdiri dan tante jongkok sambil mengulum penisku yang sudah sangat tegang.
Ternyata tanteku pandai sekali menjilat penis, tidak sampai lima menit aku sudah keluar.
“Ahh.., ayo Tante.., terus jilat sayang.., acchh..!” desahku sambil kudorong keluar masuk di mulutnya penisku yang besar ini.
“Tante mau keluar nih.., achh.. yeahh..!” erangku sambil kumuncratkan maniku di mulutnya.
Tante menelan semua maniku, bahkan masih mengocoknya berharap masih ada sisanya.
Setelah beberapa saat penisku mulai bangun kembali. Setelah tegang dibimbingnya penisku masuk ke liang kewanitaannya. Kali ini aku di atas dan tante di bawah. Agak susah sih, mungkin sudah lama tidak service oleh Oom Benny. Setelah kepalanya masuk, kudorong perlahan hingga masuk semuanya ke dalam.
“Ayo Wel..! Gerakin dong Sayang..!” pinta tanteku sambil menggerakkan pantatnya ke atas dan ke bawah karena ia sekarang berada di bawah.
Akhirnya kudorong keluar masuk penisku dengan gerakan yang cepat, sehingga semakin keras erangan tanteku.
Beberapa saat kemudian aku sudah ingin keluar, “Aahh..! Tante.., Welly udah mau keluar.., ahh..!” kataku.
“Sabar Sayang.., Tante sebentar lagi nih..! Yeahh.. ohh.. ahh.., fuck me Wel..! Kita barengan ya Sayang..? Oh.. yeah..!”
Rupanya tanteku juga hampir orgasme. Rasanya seperti ada yang memijat-mijat penisku dan kakinya dilingkarkan ke pantatku. Tante bergetar hebat dan memelukku sambil kemaluannya mengeluarkan cairan yang menyemprot penisku. Tidak lama aku juga mengeluarkan air mani dan spermaku di dalam vaginanya. Terasa begitu nikmatnya dunia ini. Akhirnya kami berdua terkapar lemas.
“Hebat bener kamu Wel.., Tante nggak nyangka baru kali ini Tante merasakan kenikmatan yang luar biasa..!” tuturnya dengan nafas terengah-engah.
Aku diam tak menjawab, tapi dalam hati aku merasa bersalah telah berhubungan dengan tanteku dan takut ketahuan Oom Benny. Tante turun dari ranjang tanpa busana, lalu dia menyalakan sebatang rokok.
“Bagaimana kalau Oom Benny sampai tahu, Tante..? Saya takut.., saya merasa berdosa..” kataku lemah.
Tapi tanteku malah tersenyum dan memelukku dengan mesra.
“Asal kamu tidak memberitahu orang lain, perbuatan kita aman. Lagi pula Oommu itu udah nggak bisa melakukan hubungan badan sejak lama. Dia itu impotent, Wel..!” tutur wanita tanpa busana yang penuh daya tarik itu.
“Jadi semua ini Tante lakukan karena Oom Benny tidak bisa menggauli Tante lagi, ya..?” tanyaku.
“Ya. Bukan sekali ini saja Tante melakukan hal seperti ini.., sebelum sama kamu, Tante pernah melakukannya dengan beberapa teman bisnis Oommu. Terus terang Tante nggak tahan kalau seminggu tidak disentuh atau dipeluk laki-laki..” tutur Tante.
Aku jadi geleng kepala mendengar penjelasan tanteku. Lalu aku bergerak mau pergi, tapi dengan cepat tante menahanku dan mengusap-usap dadaku yang berbulu.
“Well.., kamu harus bersihkan badanmu dulu.., mandilah supaya segar..!” ucapnya lembut.
Aku tak menjawab hanya menarik nafas panjang, lalu melangkah ke kamar mandi. Tubuhku terasa letih namun puas juga.
Begitulah pengalaman di Surabaya yang kualami 6 tahun yang lalu. Dan sampai saat ini aku telah mempunyai istri dan seorang anak.
Lalu apa tante weli tergolong tante girang ? tau deeeeeh
Share:

Ibu Maya Yang Sexy

cerita sex

Setelah tamat dari SMU, aku mencoba merantau ke Jakarta. Aku berasal dari keluarga yang tergolong miskin. Di kampung orang tuaku bekerja sebagai buruh tani. Aku anak pertama dan memiliki dua orang adik perempuan, yang nota bene masih bersekolah.

Aku ke Jakarta cuma berbekal ijazah SMU. Dalam perjalanan ke Jakarta, aku selalu terbayang akan suatu kegagalan. Apa jadinya aku yang anak desa ini hanya berbekal Ijazah SMU mau mengadu nasib di kota buas seperti Jakarta. Selain berbekal Ijazah yang nyaris tiada artinya itu, aku memiliki keterampilan hanya sebagai supir angkot. Aku bisa menyetir mobil, karena aku di kampung, setelah pulang sekolah selalu diajak paman untuk narik angkot. Aku menjadi keneknya, paman supirnya.
3 tahun pengalaman menjadi awak angkot, cukup membekal aku dengan keterampilan setir mobil. Paman yang melatih aku menjadi supir yang handal, baik dan benar dalam menjalankan kendaraan di jalan raya. Aku selalu memegang teguh pesan paman, bahwa : mengendarai mobil di jalan harus dengan sopan santun dan berusaha sabar dan mengalah. Pesan ini tetap kupegang teguh.
Di Jakarta aku numpang di rumah sepupu, yang kebetulan juga bekerja sebagai buruh pabrik di kawasan Pulo Gadung. Kami menempati rumah petak sangat kecil dan sangat amat sederhana. Lebih sederhana dari rumah type RSS ( Rumah Susah Selonjor). Selain niatku untuk bekerja, aku juga berniat untuk melanjutkan sekolah ke Perguruan Tinggi. Dua bulan lamanya aku menganggur di Jakrta. Lamar sana sini, jawabnya selalu klise, ” tidak ada lowongan “.
Pada suatu malam, yakni malam minggu, ketika aku sedang melamun, terdengar orang mengucap salam dari luar. Ku bukakan pintu, ternya pak RT yang datang. Pak RT minta agar aku sudi menjadi supir pribadi dari sebuah keluarga kaya. Keluarga itu adalah pemilik perusahaan dimana pak RT bekerja sebagai salah seorang staff di cabang perusahaan itu. Sepontan aku menyetujuinya. Esoknya kami berangkat kekawasan elite di Jakarta. Ketika memasuki halaman rumah yang besar seperti istana itu, hatiku berdebar tak karuan.
Setelah kami dipersilahkan duduk oleh seorang pembantu muda di ruang tamu yang megah itu, tak lama kemudian muncul seorang wanita yang tampaknya muda. Kami memberi hormat pada wanita itu. Wanita itu tersenyum ramah sekali dan mempersilahkan kami duduk, karena ketika dia datang, sepontan aku dan pak RT berdiri memberi salam ” selamat pagi”. Pak RT dipersilahkan kembali ke kantor oleh wanita itu, dan diruangan yang megah itu hanya ada aku dan dia si wanita itu.
” Benar kamu mau jadi supir pribadiku ? ” tanyanya ramah seraya melontarkan senyum manisnya. ” Iya Nyonya, saya siap menjadi supir nyonya ” Jawabku. ” jangan panggil Nyonya, panggil saja saya ini Ibu, Ibu Maya ” Sergahnya halus. Aku mengangguk setuju. ” Kamu masih kuliah ?” ” Tidak nyonya eh…Bu ?!” jawabku. ” Saya baru tamat SMU, tapi saya berpengalaman menjadi supir sudah tiga ahun” sambungku.
Wanita itu menatapku dalam-dalam. Ditatapnya pula mataku hingga aku jadi slah tingkah. Diperhatikannya aku dari atas samapi kebawah. ” kamu masih muda sekali, ganteng, nampaknya sopan, kenapa mau jadi supir ?” tanyanya. ” Saya butuh uang untuk kuliah Bu ” jawabku. ” Baik, saya setuju, kamu jadi supir saya, tapi haru ready setiap saat. gimana, okey ? ” ” Saya siap Bu.” Jawabku. ” Kamu setiap pagi harus sudah ready di rumah ini pukul enam, lalu antar saya ke tempat saya Fitness, setelah itu antar saya ke salon, belanja, atau kemana saya suka. Kemudian setelah sore, kamu boleh pulang, gimana siap ? ” ” Saya siap Bu” Jawabku. ” Oh..ya, siapa namamu ? ” Tanyanya sambil mengulurkan tangannya.
Sepontan aku menyambut dan memegang telapak tangannya, kami bersalaman. ” Saya Leman Bu, panggil saja saya Leman ” Jawabku. ” Nama yang bagus ya ? tau artinya Leman ? ” Tanyanya seperti bercanda. ” Tidak Bu ” Jawabku. ” Leman itu artinya Lelaki Idaman ” jawabnya sambil tersenyum dan menatap mataku. Aku tersenyum sambil tersipu. lama dia menatapku. Tak terpikir olehku jika aku bakal mendapat majikan seramah dan se santai Ibu Maya.
Aku mencoba juga untuk bergurau, kuberanita diri untuk bertanya pada beliau. ” Maaf, Bu. jika nama Ibu itu Maya, apa artinya Bu ? ” ” O..ooo, itu, Maya artinya bayangan, bisa juga berarti khayalan, bisa juga sesuatu yang tak tampak, tapi ternyata ada.Seperti halnya cita-citamu yang kamu anggap mustahil ternyata suatu saat bisa kamu raih, nah,,,khayalan kamu itu berupa sesuiatu yang bersifat maya, ngerti khan ? ” Jawabnya serius. Aku hanya meng-angguk-angguk saja sok tahu, sok mengerti, sok seperti orang pintar.
Jika kuperhatikan, body Ibu Maya seksi sekali, tubuhnya tidak trlampau tinggi, tapi padat berisi, langsing, pinggulnya seperti gitar sepanyol. Ynag lebih, gila, pantatnya bahenol dan buah dadanya wah…wah…wah…puyeng aku melihatnya.
Dirumah yang sebesar itu, hanya tinggal Ibu Maya, Suaminya, dan dua putrinya, yakni Mira sebagai anak kedua, dan Yanti si bungsu yang masih duduk di kelas III SMP, putriny yang pertama sekolah mode di Perancis. Pembantunya hanya satu, yakni Bi Irah, tapi seksinya juga luar biasa, janda pula !
Ibu Maya memberi gaji bulanan sangat besar sekali, dan jika difikir-fikir, mustahil sekali. Setelah satu tahu aku bekerja, sudah dua kali dia menaikkan agjiku, Katanya dia puas atas disiplin kerjaku. Gaji pertama saja, lebih dari cukup untuk membayar uang kuliahku. Aku mengambil kuliah di petang hari hingga malam hari disebuah Universitas Swasta. Untuk satu bulan gaji saja, aku bisa untuk membayar biaya kuliah empat semster, edan tenan….sekaligus enak…tenan….!!! dasar rezeki, tak akan kemana larinya.
Masuk tahun kedua aku bekerja, keakraban dengan Ibu Maya semakin terasa. Setelah pulang Fitness, dia minta jalan-jalan dulu. Yang konyol, dia selalu duduk di depan, disebelahku, hingga terkadang aku jadi kagok menyetir, eh…lama lama biasa.
Disuatu hari sepulang dari tempat Fitnes, Ibu Maya minta diatar keluar kota. Seperti biasa dia pindah duduk ke depan. Dia tak risih duduk disebelah supir pribadinya. Ketika tengah berjalan kendaraan kami di jalan tol jagorawi, tiba-tiba Ibu maya menyusuh nemepi sebentar. Aku menepi, dan mesin mobil BMW itu kumatikan. Jantungku berdebar, jangan-jangan ada kesalahan yang aku perbuat.
” Man,?, kamu sudah punya pacar ? ” Tanyanya. ” Belum Bu ” Jawabku singkat. ” Sama sekali belum pernah pacaran ?” ” Belum BU, eh…kalau pacar cinta monyet sih pernah Bu, dulu di kampung sewaktu SMP” ” Berapa kali kamu pacaran Man ? sering atau cuma iseng ?” tanyanya lagi. Aku terdiam sejenak, kubuang jauh-jauh pandanganku kedepan. Tanganku masih memegang setir mobil. Kutarik nafas dalam-dalam. ” Saya belum pernah pacaran serius Bu, cuma sebatas cintanya anak yang sedang pancaroba” Jawabku menyusul. ”
Bagus…bagus…kalau begitu, kamu anak yang baik dan jujur ” ujarnya puas sambil menepuk nepuk bahuku. Aku sempat bingung, kenapa Bu Maya pertanyaannya rada aneh ? terlalu pribadi lagi ? apakah aku mau dijodohkan dengan salah seorang putrinya ? ach….enggak mungkin rasanya, mustahil, mana mungkin dia mau punya menantu anak kampung seprti aku ini ?!
Setelah itu kami melanjutkan perjalanan kepuncak, bahkan sampai jalan-jalan sekedar putar-putar saja di kota Sukabumi. Aku heran bin heran, Bu Maya kok jalan-jalan hanya putar-putar kota saja di Sukabumi, dan yang lebih heran lagi, Bu Maya hanya memakai pakaian Fitness berupa celana training dan kaos olah raga. Setelah sempat makan di rumah makan kecil di puncak, hari sudah mulai gelap dan kami kembali meneruskan perjalanan ke Jakarta. Ditengah perjalanan di jalan yang gelap gulita, Bu Maya minta untu berbelok ke suatu tempat. Aku menurut saja apa perintahnya.
Aku tak kenal daerah itu, yang kutahu hanya berupa perkebunan luas dan sepi serta gelap gulita. Ditengah kebun itu bu Maya minta kaku berhenti dan mematikan mesin mobil. Aku masih tak mengerti akan tingkah Bu Maya. Tiba-tiba saja tangan Bu Maya menarik lengaku. ” Coba rebahkan kepalamu di pangkuanku Man ?” Pintanya, aku menurut saja, karena masih belum mengerti. Astaga….setelah aku merebahkan kepalaku di pangkuan Bu Maya dengan keadaan kepala menghadap keatas, kaki menjulur keluar pintu, Bu Maya menarik kaosnya ketas.
Wow…samar-samar kulihat buah dadanya yang besar dan montok. Buah dada itu didekatkan ke wajahku. Lalu dia berkata ” Cium Man Cium…isaplah, mainkan sayang …?” Pintanya. Baru aku mengerti, Bu Maya mengajak aku ketempat ini sekedar melampiaskan nafsunya. Sebagai laki-laki normal, karuan saja aku bereaksi, kejantananku hidup dan bergairah. Siapa nolak diajak kencan dengan wanita cantik dna seksi seperti Bu Maya.
Kupegangi tetek Bu Maya yang montok itu, kujilati putingnya dan kuisap-isap. Tampak nafas Bu Maya ter engah-engah tak karuan, menandakan nafsu biarahinya sedang naik. Aku masih mengisap dan menjilati teteknya. Lalu bu Maya minta agar aku bangun sebentar. Dia melorotkan celana trainingnya hingga kebawah kaki. Bagian bawah tubuh Bu Maya tampak bugil. Samar-samar oleh sinar bulan di kegelapan itu. ” Jilat Man jilatlah, aku nafsu sekali, jilat sayang ” Pinta Bu Maya agar aku menjilati memeknya. Oh….memek itu besar sekali, menjendol seperti kura-kura. tampaknya dia sedang birahi sekali, seperti puting teteknya yang ereksi. Aku menurut saja, seperti sudah terhipnotis.
Memek Bu Maya wangi sekali, mungkin sewaktu di restauran tadi dia membersihkan kelaminnya dan memberi wewangian. Sebab dia sempat ke toilet untuk waktu yang lumayang lama. Mungkin disana dia membersihkan diri. Dia tadi ke tolilet membawa serta tas pribadinya. Dan disana pula dia mengadakan persiapan untuk menggempur aku. Kujilati liang kemaluan itu, tapi Bu Maya tak puas. Disuruhnya aku keluar mobil dan disusul olehnya.
Bu Maya membuka bagasi mobil dan mengambil kain semacam karpet kecil lalu dibentangkan diatas rerumputan. Dia merebahkan tubuhnya diatas kain itu dan merentangnya kakinya. ” Ayo Man, lakukan, hanya ada kita berdua disini, jangan sia-siakan kesempatan ini Man, aku sayang kamu Man ” katanya setengah berbisik, Aku tak menjawab, aku hanya melakukan perintahnya, dan sedikit bicara banyak kerja. Ku buka semua pakaianku, lalu ku tindih tubuh Bu Maya.
Dipeluknya aku, dirogohnya alat kelaminku dan dimasukkan kedalam memeknya. Kami bersetubuh ditengah kebun gelap itu dalam suasana malam yang remang-remang oleh sinar gemintang di langit. Aku menggenjot memek Bu Maya sekuat mungkin. ” jangan keluar dulua ya ? saya belum puas ” Pintanya mesra. Aku diam saja, aku masih melakukan adegan mengocok dengan gerakan penis keluar masuk lubang memek Bu Maya. Nikmat sekali memek ini, pikirku. Bu Maya pindah posisi , dia diatas, dan bukan main permainannya, goyangnyanya.
” Remas tetekku Man, remaslah….yang kencang ya ?” Pintanya. Aku meremasnya. ” Cium bibirku Man..cium ? Aku mencium bibir indah itu dan kuisap lidahnya dalam-dalam, nikmat sekali, sesekali dia mengerang kenikmatan. ” Sekarang isap tetekku, teruskan…terus…..Oh….Ohhhh…..Man…Leman…Ohhh…aku keluar Man….aku kalah” Dia mencubiti pinggulku, sesekali tawanya genit. ” kamu curang….aku kalah” ujarnya. ” Sekarang gilirang kamu Man….keluarkan sebanyak mungkin ya? ” pintanya. ” Saya sudah keluar dari tadi Bu, tapi saya tetap bertahan, takut Ibu marah nanti ” Jawabku. ” Oh Ya?…gila..kuat amat kamu ?!” balas Bu Maya sambul mencubit pipiku.
” Kenapa Ibu suka main di tempat begini gelap ?” ” Aku suka alam terbuka, di alam terbuka aku bergairah sekali. Kita akan lebih sering mencari tempat seperti alam terbuka. Minggu depan kita naik kapal pesiarku, kita main diatas kapal pesiar di tengah ombak bergulung. Atau kita main di pinggir sungai yang sepi, ah… terserah kemana kamu mau ya Man ?”
Selesai main, setelah kami membersihkan alat vital hanya dengan kertas tisue dan air yang kami ambil dari jiregen di bagasi mobil, kami istirahat. Bu Maya yang sekarang tidur di pangkuanku. Kami ngobrol panjang lebar, ngalor ngidul. Setelah sekian lama istirahat, kontolku berdiri lagi, dan dirasakan oleh kepala Bu maya yang menyentuh batang kejantananku. Tak banyak komentar celanaku dibukanya, dan aku dalam sekejap sudah bugil. Disuruhnya aku tidur dengan kaki merentang, lalu Bu Maya membuka celana trainingnya yang tanpa celana dalam itu.
Bu Maya mengocok-ngocok penisku, diurutnya seperti gerakan tukang pjit mengurut tubuh pasiennya. Gerakan tangan Bu Maya mengurut naik-turun. Karuan saja penisku semakin membesar dan membesar. Diisapnya penisku yang sudah ereksi besar sekali, dimainkannya lidah Bu Maya di ujung penisku. Setelah itu, Bu Maya menempelkan buah dadanya yang besar itu di penisku. Dijepitkannya penisku kedalam tetek besar itu, lalu di goyang-goyang seperti gerakan mengocok. ” Giaman Man ? enah anggak ? ” ” Enak Bu, awas lho nanti muncrat Bu” jawabku.. ” Enggak apa, ayo keluarkan, nanti kujilati pejuhmu, aku mau kok ?!” . Bu Maya masih giat bekerja giat, dia berusaha untuk memuaskan aku.
Tak lama kemudian, Bu Maya naik keposisi atas dan seperti menduduki penisku, tapi lobang memeknya dimasuki penisku. Digoyang terus…hingga aku merasakan nikat yang luar biasa. Tiba -tiba Bu Maya terdiam, berhenti bekerja, lalu berjata :” Rasakan ya Man ? pasti kamu bakal ketagihan ” Aku membisu saja. dan ternya Ohh….memek Bu Maya bisa melakukan gerakan empot-empot, menyedot-nyedot dan meng-urut-urut batang kontolku dari bagian kepala hingga ke bagian batang bawah, Oh….nikmat sekali, ini yang namanya empot ayam, luar biasa kepiawaian Bu Maya dalam bidang oleh seksual. ” Enak syang ?” tanyanya. Belum sempat aku menjawab, yah….aku keluar, air maniku berhamburan tumpah ditenga liang kemaluan Bu Maya.
” Itu yang namanya empot-empot Man, itulah gunanya senam sex, berarti aku sukses l;atihan senam sex selama ini ” Katanya bangga. ” Sekarang kamu puasin aku ya ? ” Kata Bu Maya seraya mengambil posisi nungging. Ku tancapkan lagi kontolku yang masih ereksi kedalam memek bu Maya, Ku genjot terus. ” Yang dalam man…yang dalam ya..teruskan sayang…? oh….enak sekali penismu…..oh….terus sayang ?!” Pinta Bu Maya. Aku masih memuaskan Bu Maya, aku tak mau kalah, kujilati pula lubang memeknya, duburnya dan seluruh tubuhnya. Ternyata Bu Maya orgasme setelah aku menjlati seluruh tubuhnya. ” kamu pintar sekali Man ? belajar dimana ? ” ” Tidak bu, refleks saja” Jawabku.
Sebelum kami meninggalkan tempat itu, Bu Maya masih sempat minta satu adegan lagi. Tapi kali ini hanya sedikit melorotkan celana trainingnya saja. demikian pula aku, hanya membuka bagian penis saja. Bu Maya minta aku melakukanya di dalam mobil, tapi ruangannya sempit sekali. Dengan susah payang kami melakukannya dan akhirnya toh juga mengambil posisinya berdiri dengan tubuh Bu Maya disandarkan di mobil sambil meng-angkat sedikit kaki kanannya.
Sejak saat malam pertama kami itu, aku dan Bu Maya sering bepergian keluar kota, ke pulau seribu, ke pinggir pantai, ke semak-semak di sebuah desa terpencil, yah pokoknya dia cari tempat-tempat yang aneh-aneh. Tak kusadari kalau aku sebenarnya menjadi gigolonya Bu Maya. Dan beliaupun semakin sayang padaku, uang mengalir terus ke kocekku, tanpa pernah aku meminta bayaran. Dia menyanggupi untuk membiayai kuliah hingga tamat, asal aku tetap selalu besama Bu Maya yang cantik itu
Share:

Kekasih Gelapku Seorang Perawat

cerita sex

Hari ini adalah hari pertamaku tinggal di kota Bandung. Karena tugas kantorku, aku terpaksa tinggal di Bandung selama 5 Hari dan weekend di Jakarta. Di kota kembang ini, aku menyewa kamar di rumah temanku. Menurutnya, rumah itu hanya ditinggali oleh Ayahnya yang sudah pikun, seorang perawat, dan seorang pembantu.

“Rumah yang asri” gumamku dalam hati. Halaman yang hijau, penuh tanaman dan bunga yang segar dikombinasikan dengan kolam ikan berbentuk oval. Aku mengetuk pintu rumah tersebut beberapa kali sampai pintu dibukakan. Sesosok tubuh semampai berbaju serba putih menyambutku dengan senyum manisnya. “Pak Rafi ya..”. “Ya.., saya temannya Mas Anto yang akan menyewa kamar di sini. Lho, kamu kan pernah kerja di tetanggaku?”, jawabku surprise. Perawat ini memang pernah bekerja pada tetanggaku di Bintaro sebagai baby sitter. “Iya…, saya dulu pengasuhnya Aurelia. Saya keluar dari sana karena ada rencana untuk kimpoi lagi. Saya kan dulu janda pak.., tapi mungkin belum jodo.., ee dianya pergi sama orang lain.., ya sudah, akhirnya Saya kerja di sini..”, Mataku memandangi sekujur tubuhnya. Tati (nama si perawat itu) secara fisik memang tidak pantas menjadi seorang perawat. 

Kulitnya putih mulus, wajahnya manis, rambutnya hitam sebahu, buah dadanya sedang menantang, 
dan kakinya panjang semampai. Kedua matanya yang bundar memandang langsung mataku, seakan ingin mengatakan sesuatu. Aku tergagap dan berkata, “Ee.., Mbak Tati, Bapak ada?”. “Bapak sedang tidur. Tapi Mas Anto sudah nitip sama saya. Mari saya antarkan ke kamar..”. Tati menunjukkan kamar yang sudah disediakan untukku. Kamar yang luas, ber-AC, tempat tidur besar, kamar mandi sendiri, dan sebuah meja kerja. Aku meletakkan koporku di lantai sambil melihat berkeliling, sementara Tati merunduk merapikan sprei ranjangku. Tanpa sengaja aku melirik Tati yang sedang menunduk. Dari balik baju putihnya yang kebetulan berdada rendah, terlihat dua buah dadanya yang ranum bergayut di hadapanku. Ujung buah dada yang berwarna putih itu ditutup oleh BH berwarna pink. Darahku terkesiap. Ahh…, perawat cantik, janda, di rumah yang relatif kosong.Sadar melihat aku terkesima akan keelokan buah dadanya, dengan tersipu-sipu Tati menghalangi pemandangan indah itu dengan tangannya. “Semuanya sudah beres Pak…, silakan beristirahat..”. “Ee…, ya.., terima kasih”, jawabku seperti baru saja terlepas dari lamunan panjang. Sore itu aku berkenalan dengan ayah Anto yang sudah pikun itu. Ia tinggal sendiri di rumah itu setelah ditinggalkan oleh istrinya 5 tahun yang lalu. Selama beramah-tamah dengan sang Bapak, mataku tak lepas memandangi Tati. Sore itu ia menggunakan daster tipis yang dikombinasikan dengan celana kulot yang juga tipis. Buah dadanya nampak semakin menyembul dengan dandanan seperti itu. Di rumah itu ada seorang pembantu berumur sekitar 17 tahun. Mukanya manis, walaupun tidak secantik Tati. Badannya bongsor dan motok. 

Ani namanya. Ia yang sehari-hari menyediakan makan untukku. Hari demi hari berlalu. Karena kepiawaianku dalam bergaul, aku sudah sangat akrab dengan orang-orang di rumah itu. Bahkan Ani sudah biasa mengurutku dan Tati sudah berani untuk ngobrol di kamarku. Bagi janda muda itu, aku sudah merupakan tempat mencurahkan isi hatinya. Begitu mudah keakraban itu terjadi hingga kadang-kadang Tati merasa tidak perlu mengetuk pintu sebelum masuk ke kamarku. Sampai suatu malam, ketika itu hujan turun dengan lebatnya. Aku, karena sedang suntuk memasang VCD porno kesukaanku di laptopku. Tengah asyik-asyiknya aku menonton tanpa sadar aku menoleh ke arah pintu, astaga…, Tati tengah berdiri di sana sambil juga ikut menonton. Rupanya aku lupa menutup pintu, dan ia tertarik akan suara-suara erotis yang dikeluarkan oleh film produksi Vivid interactive itu. Ketika sadar bahwa aku mengetahui kehadirannya, Tati tersipu dan berlari ke luar kamar. “Mbak Tati..”, panggilku seraya mengejarnya ke luar. Kuraih tangannya dan kutarik kembali ke kamarku. “Mbak Tati…, mau nonton bareng? Ngga apa-apa kok..”. “Ah, ngga Pak…, malu aku..”, katanya sambil melengos. “Lho.., kok malu.., kayak sama siapa saja.., kamu itu.., wong kamu sudah cerita banyak tentang diri kamu dan keluarga.., dari yang jelek sampai yang bagus.., masak masih ngomong malu sama aku?”, Kataku seraya menariknya ke arah ranjangku. “Yuk kita nonton bareng yuk..”, Aku mendudukkan Tati di ranjangku dan pintu kamarku kukunci. Dengan santai aku duduk di samping Tati sambil mengeraskan suara laptopku. Adegan-adegan erotis yang diperlihatkan ke 2 bintang porno itu memang menakjubkan. Mereka bergumul dengan buas dan saling menghisap. Aku melirik Tati yang sedari tadi takjub memandangi adegan-adegan panas tersebut. Terlihat ia berkali-kali menelan ludah. Nafasnya mulai memburu, dan buah dadanya terlihat naik turun. Aku memberanikan diri untuk memegang tangannya yang putih mulus itu. Tati tampak sedikit kaget, namun ia membiarkan tanganku membelai telapak tangannya. Terasa benar bahwa telapak tangan Tati basah oleh keringat. Aku membelai-belai tangannya seraya perlahan-lahan mulai mengusap pergelangan tangannya dan terus merayap ke arah ketiaknya. 

Tati nampak pasrah saja ketika aku memberanikan diri melingkarkan tanganku ke bahunya sambil membelai mesra bahunya. Namun ia belum berani untuk menatap mataku. Sambil memeluk bahunya, tangan kananku kumasukkan ke dalam daster melalui lubang lehernya. Tanganku mulai merasakan montoknya pangkal buah dada Tati. Kubelai-belai seraya sesekali kutekan daging empuk yang menggunung di dada bagian kanannya. Ketika kulihat tak ada reaksi dari Tati, secepat kilat kusisipkan tangganku ke dalam BH-nya…, kuangkat cup BH-nya dan kugenggam buah dada ranum si janda muda itu. “Ohh.., Pak…, jangan..”, Bisiknya dengan serak seraya menoleh ke arahku dan mencoba menolak dengan menahan pergelangan tangan kananku dengan tangannya. “Sshh…, ngga apa-apa Mbak…, ngga apa-apa..”. “Nanti ketauanhh..”. “Nggaa…, jangan takut..”, Kataku seraya dengan sigap memegang ujung puting buah dada Tati dengan ibu jari dan telunjukku, lalu kupelintir-pelintir ke kiri dan kanan. “Ooh.., hh.., Pak.., Ouh.., jj.., jjanganhh.., ouh..”, Tati mulai merintih-rintih sambil memejamkan matanya. Pegangan tangannya mulai mengendor di pergelangan tanganku. Saat itu juga, kusambar bibirnya yang sedari tadi sudah terbuka karena merintih-rintih. “Ouhh.., mmff.., cuphh.., mpffhh..”, Dengan nafas tersengal-sengal Tati mulai membalas ciumanku. Kucoba mengulum lidahnya yang mungil, ketika kurasakan ia mulai membalas sedotanku. Bahkan ia kini mencoba menyedot lidahku ke dalam mulutnya seakan ingin menelannya bulat-bulat. Tangannya kini sudah tidak menahan pergelanganku lagi, namun kedua-duanya sudah melingkari leherku. Malahan tangan kanannya digunakannya untuk menekan belakang kepalaku sehingga ciuman kami berdua semakin lengket dan bergairah. Momentum ini tak kusia-siakan. Sementara Tati melingkarkan kedua tangannya di leherku, akupun melingkarkan kedua tanganku di pinggangnya. Aku melepaskan bibirku dari kulumannya, dan aku mulai menciumi leher putih Tati dengan buas. “aahh..Ouhh..” Tati menggelinjang kegelian dan tanganku mulai menyingkap daster di bagian pinggangnya. Kedua tanganku merayap cepat ke arah tali BH-nya dan, “tasss..

” terlepaslah BH-nya dan dengan sigap kualihkan kedua tanganku ke dadanya. Saat itulah lurasakan betapa kencang dan ketatnya kedua buah dada Tati. Kenikmatan meremas-remas dan mempermainkan putingnya itu terasa betul sampai ke ujung sarafku. Penisku yang sedari tadi sudah menegang terasa semakin tegang dan keras. Rintihan-rintihan Tati mulai berubah menjadi jeritan-jeritan kecil terutama saat kuremas buah dadanya dengan keras. Tati sekarang lebih mengambil inisiatif. Dengan nafasnya yang sudah sangat terengah-engah, ia mulai menciumi leher dan mukaku. Ia bahkan mulai berani menjilati dan menggigit daun telingaku ketika tangan kananku mulai merayap ke arah selangkangannya. Dengan cepat aku menyelipkan jari-jariku ke dalam kulotnya melalui perut, langsung ke dalam celana dalamnya. Walaupun kami berdua masih dalam keadaan duduk berpelukan di atas ranjang, posisi paha Tati saat itu sudah dalam keadaan mengangkang seakan memberi jalan bagi jari-jemariku untuk secepatnya mempermainkan kemaluannya. Hujan semakin deras saja mengguyur kota Bandung.

Sesekali terdengar suara guntur bersahutan. Namun cuaca dingin tersebut sama sekali tidak mengurangi gairah kami berdua di saat itu. Gairah seorang lajang yang memiliki libido yang sangat tinggi dan seorang janda muda yang sudah lama sekali tidak menikmati sentuhan lelaki. Tati mengeratkan pelukannya di leherku ketika jemariku menyentuh bulu-bulu lebat di ujung vaginanya. Ia menghentikan ciumannya di kupingku dan terdiam sambil terus memejamkan matanya. Tubuhnya terasa menegang ketika jari tengahku mulai menyentuh vaginanya yang sudah terasa basah dan berlendir itu. Aku mulai mempermainkan vagina itu dan membelainya ke atas dan ke bawah. “Ouuhh Pak.., ouhh.., aahh.., g..g.ggelliiihh…”. Tati sudah tidak bisa berkata-kata lagi selain merintih penuh nafsu ketika clitorisnya kutemukan dan kupermainkan. Seluruh badan Tati bergetar dan bergelinjang. Ia nampak sudah tak dapat mengendalikan dirinya lagi. Jeritan-jeritannya mulai terdengar keras. Sempat juga aku kawatir dibuatnya. Jangan-jangan seisi rumah mendengar apa yang tengah kami lakukan. Namun kerasnya suara hujan dan geledek di luar rumah menenangkanku. Benda kecil sebesar kacang itu terasa nikmat di ujung jari tengahku ketika aku memutar-mutarnya. Sambil mempermainkan clitorisnya, aku mulai menundukkan kepalaku dan menciumi buah dadanya yang masih tertutupi oleh daster. 

Seolah mengerti, Tati menyingkapkan dasternya ke atas, sehingga dengan jelas aku bisa melihat buah dadanya yang ranum, kenyal dan berwarna putih mulus itu bergantung di hadapanku. Karena nafsuku sudah memuncak, dengan buas kusedot dan kuhisap buah dada yang berputing merah jambu itu. Putingnya terasa keras di dalam mulutku menandakan nafsu janda muda itupun sudah sampai di puncak. Tati mulai menjerit-jerit tidak karuan sambil menjambak rambutku. Sejenak kuhentikan hisapanku dan bertanya, “Enak Mbak?”. Sebagai jawabannya, Tati membenamkan kembali kepalaku ke dalam ranumnya buah dadanya. Jari tengahku yang masih mempermainkan clitorisnya kini kuarahkan ke lubang vagina Tati yang sudah menganga karena basah dan posisi pahanya yang mengangkang. Dengan pelan tapi pasti kubenamkan jari tengahku itu ke dalamnya dan, “Auuhh.., P.Paak.., hh”. Tati menjerit dan menaikkan kedua kakinya ke atas ranjang. “Terrusshh.., auhh..”. Kugerakkan jariku keluar masuk di vaginanya dan Tati menggoyangkan pingggulnya mengikuti irama keluar masuknya jemariku itu. Aku menghentikan ciumanku di buah dada Tati dan mulai mengecup bibir ranum janda itu. Matanya tak lagi terpejam, tapi memandang sayu ke mataku seakan berharap kenikmatan yang ia rasakan ini jangan pernah berakhir. Tangan kiriku yang masih bebas, membimbing tangan kanan Tati ke balik celana pendekku. Ketika tangannya menyentuh penisku yang sudah sangat keras dan besar itu, terlihat ia agak terbelalak karena belum pernah melihat bentuk yang panjang dan besar seperti itu. Tati meremas penisku dan mulai mengocoknya naik turun naik turun.., kocokan yang nikmat yang membuatku tanpa sadar melenguh, “Ahh.., Mbaak.., enaknya.., terusin..”. Saat itu kami berdua berada pada puncaknya nafsu. Aku yakin bahwa Mbak Tati sudah ingin secepatnya memasukkan penisku ke dalam vaginanya. Ia tidak mengatakannya secara langsung, namun dari tingkahnya menarik penisku dan mendekatkannya ke vaginanya sudah merupakan pertanda. Namun, di detik-detik yang paling menggairahkan itu terdegar suara si Bapak tua berteriak, “Tatiii…, Tatiii..”. Kami berdua tersentak. 

Kukeluarkan jemariku dari vaginanya, Tati melepaskan kocokannya dan ia membenahi pakaian dan rambutnya yang berantakan. Sambil mengancingkan kembali BH-nya ia keluar dari kamarku menuju kamar Bapak tua itu. Sialan!, kepalaku terasa pening. Begitulah penyakitku kalau libidoku tak tersalurkan. Beberapa saat lamanya aku menanti siapa tahu janda muda itu akan kembali ke kamarku. Tapi nampaknya ia sibuk mengurus orang tua pikun itu, sampai aku tertidur. Entah berapa lama aku terlelap, tiba-tiba aku merasa napasku sesak. Dadaku serasa tertindih suatu beban yang berat. Aku terbangun dan membuka mataku. Aku terbelalak, karena tampak sesosok tubuh putih mulus telanjang bulat menindih tubuhku. “Mbak Tati?”, Tanyaku tergagap karena masih mengagumi keindahan tubuh mulus yang berada di atas tubuhku. Lekukan pinggulnya terlihat landai, dan perutnya terasa masih kencang. Buah dadanya yang lancip dan montok itu menindih dadaku yang masih terbalut piyama itu. Seketika, rasa kantukku hilang. Mbak Tati tersenyum simpul ketika tangannya memegang celanaku dan merasakan betapa penisku sudah kembali menegang. “Kita tuntaskan ya Mbak?”, Kataku sambil menyambut kuluman lidahnya. Sambil dalam posisi tertindih aku menanggalkan seluruh baju dan celanaku. Kegairahan yang sempat terputus itu, mendadak kembali lagi dan terasa bahkan lebih menggila. Kami berdua yang sudah dalam keadaan bugil saling meraba, meremas, mencium, merintih dengan keganasan yang luar biasa. Mbak Tati sudah tidak malu-malu lagi menggoyangkan pinggulnya di atas penisku sehingga bergesekan dengan vaginanya. Tidak lebih dari 5 menit, aku merasakan bahwa nafsu syahwat kami sudah kembali berada dipuncak. Aku tak ingin kehilangan momen lagi. 

Kubalikkan tubuh Tati, dan kutindih sehingga keempukan buah dadanya terasa benar menempel di dadaku. Perutku menggesek nikmat perutnya yang kencang, dan penisku yang sudah sangat menegang itu bergesekan dengan vaginanya. “Mbak.., buka kakinya.., sekarang kamu akan merasakan sorganya dunia Mbak..”, bisikku sambil mengangkangkan kedua pahanya. Sambil tersengal-sengal Tati membuka pahanya selebar-lebarnya. Ia tersenyum manis dengan mata sayunya yang penuh harap itu. “Ayo Pak.., masukkan sekarang…”, Aku menempelkan kepala penisku yang besar itu di mulut vagina Tati. Perlahan-lahan aku memasukkannya ke dalam, semakin dalam, semakin dalam dan, “aa.., Aooohh.., paakh….., aahh..”, rintihnya sambil membelalakkan matanya ketika hampir seluruh penisku kubenamkan ke dalam vaginanya. Setelah itu, “Blesss…”, dengan sentakan yang kuat kubenamkan habis penisku diiringi jeritan erotisnya, “Ahh.., besarnyah.., ennnakk ppaak..”. Aku mulai memompakan penisku keluar masuk, keluar masuk. Gerakanku makin cepat dan cepat. Semakin cepat gerakanku, semakin keras jeritan Tati terdengar di kamarku. Pinggul janda muda itu pun berputar-putar dengan cepat mengikuti irama pompaanku. Kadang-kadang pinggulnya sampai terangkat-angkat untuk mengimbangi kecepatan naik turunnya pinggulku. Buah dadanya yang terlihat bulat dalam keadaan berbaring itu bergetar dan bergoyang ke sana ke mari. Sungguh menggairahkan! Tiba-tiba aku merasakan pelukannya semakin mengeras. Terasa kuku-kukunya menancap di punggungku. Otot-ototnya mulai menegang. Nafas perempuan itu juga semakin cepat. Tiba-tiba tubuhnya mengejang, mulutnya terbuka, matanya terpejam,dan alisnya merengut “aahh..”. Tati menjerit panjang seraya menjambak rambutku, dan penisku yang masih bergerak masuk keluar itu terasa disiram oleh suatu cairan hangat. 

Dari wajahnya yang menyeringai, tampak janda muda itu tengah menghayati orgasmenya yang mungkin sudah lama tidak pernah ia alami itu. Aku tidak mengendurkan goyangan pinggulku, karena aku sedang berada di puncak kenikmatanku. “Mbak.., goyang terus Mbak.., aku juga mau keluar..”. Tati kembali menggoyang pinggulnya dengan cepat dan beberapa detik kemudian, seluruh tubuhku menegang. “Keluarkan di dalam saja pak”, bisik Tati, “Aku masih pakai IUD”. Begitu Tati selesai berbisik, aku melenguh. “Mbak.., aku keluar.., aku keluarr…., aahh..”, dan…, “Crat.., crat.., craat”, kubenamkan penisku dalam-dalam di vagina perempuan itu. Seakan mengerti, Tati mengangkat pinggulnya tinggi-tinggi sehingga puncak kenikmatan ini terasa benar hingga ke tulang sumsumku. Kami berdua terkulai lemas sambil memejamkan mata. Pikiran kami melayang-layang entah ke mana. Tubuhku masih menindih tubuh montok Tati. Kami berdua masih saling berpelukan dan akupun membayangkan hari-hari penuh kenikmatan yang akan kualami sesudah itu di Bandung. Sejak kejadian malam itu, kesibukan di kantorku yang luar biasa membuatku sering pulang larut malam. Kepenatanku selalu membuatku langsung tertidur lelap. Kesibukan ini bahkan membuat aku jarang bisa berkomunikasi dengan Tati. Walaupun begitu, sering juga aku mempergunakan waktu makan siangku untuk mampir ke rumah dengan maksud untuk melakukan seks during lunch. Sayang, di waktu tersebut ternyata Ayah Anto senantiasa dalam keadaan bangun sehingga niatku tak pernah kesampaian. 

Namun suatu hari aku cukup beruntung walaupun orang tua itu tidak tidur. Aku mendapat apa yang kuinginkan. Ceritanya sebagai berikut: Tati diminta oleh Ayah Anto untuk mengambil sesuatu di kamarnya. Melihat peluang itu, aku diam-diam mengikutinya dari belakang. Kamar ayah Anto memang tidak terlihat dari tempat di mana orang tua itu biasa duduk. Sesampainya di kamar kuraih pinggang semampai perawat itu dari belakang. Tati terkejut dan tertawa kecil ketika sadar siapa yang memeluknya dan tanpa basa-basi langsung menyambut ciumanku dengan bibirnya yang mungil itu sambil dengan buas mengulum lidahku. Ia memang sudah tidak malu-malu lagi seperti awal pertemuan kami. Janda cantik itu sudah menunjukkan karakternya sebagai seorang pecinta sejati yang tanpa malu-malu lagi menunjukkan kebuasan gairahnya. Kadang aku tidak mengerti, kenapa suaminya tega meninggalkannya. Namun analisaku mengatakan, suaminya tak mampu mengimbangi gejolak gairah Tati di atas ranjang dan untuk menutupi rasa malu yang terus menerus terpaksa ia meninggalkan perempuan muda itu untuk hidup bersama dengan perempuan lain yang lebih ‘low profile’. Aku memang belum sempat menanyakan pada Tati bagaimana ia menyalurkan kebutuhan biologisnya di saat menjanda. Aku berpikir, bawa masturbasi adalah jalan satu-satunya. Kami berdua masih saling berciuman dengan ganas ketika dengan sigap aku menyelipkan tanganku ke balik baju perawatnya yang putih itu. Sungguh terkejut ketika aku sadar bahwa ia sama sekali tidak memakai BH sehingga dengan mudahnya kuremas buah dada kanannya yang ranum itu. “Kok ngga pakai BH Mbak..?” Sambil menggelinjang dan mendesah, ia menjawab sambil tersenyum nakal. “Supaya gampang diremas sama kamu..”. Benar-benar jawaban yang menggemaskan! Kembali kukulum bibir dan lidahnya yang menggairahkan itu sambil dengan cepat kubuka kancing bajunya yang pertama, kedua, dan ketiga. Lalu tanpa membuang waktu kutundukkan kepalaku, dengan tangan kananku kukeluarkan buah dada kanannya dan kuhisap sedemikian rupa sehingga hampir setengahnya masuk ke dalam mulutku. Tati mulai mengerang kegelian, “Ouhh.., geli Mas.., geliii.., ahh..”. Sejak kejadian malam itu, ia memang membiasakan dirinya untuk memanggilku Mas. Sambil menggelinjang dan merintih, tangan kanan Tati mulai mengelus-elus bagian depan celana kantorku. Penisku yang terletak tepat di baliknya terasa semakin menegang dan menegang. 

Jari-jari lentik perempuan itu berusaha untuk mencari letak kepala penisku untuk kemudian digosok-gosoknya dari luar celana. Sensasi itu membuat nafasku semakin memburu seperti layaknya nafas kuda yang tengah berlari kencang. Seakan tak mau kalah darinya, tangan kiriku berusaha menyingkap rok janda muda itu dan dengan sigap kugosokkan jari-jemariku di celana dalamnya. Tepat diatas vaginanya, celana dalam Tati terasa sudah basah. Sungguh hebat! Hanya dalam beberapa menit saja, ia sudah sedemikian terangsangnya sehingga vaginanya sudah siap untuk dimasuki oleh penisku. Tanpa membuang waktu kuturunkan celana dalam tipis yang kali ini berwarna hitam, kudorong tubuh montok perawat itu ke dinding, lalu kuangkat paha kanannya sehingga dengkulnya menempel di pinggangku. Dengan sigap pula kubuka ritsluiting celanaku dan kukeluarkan penisku yang sudah sangat tegang dan besar itu. Tati sudah nampak pasrah. Ia hanya bersender di dinding sambil memejamkan matanya dan memeluk bahuku. “Tatiii.., mana minyak tawonnya.., kok lama betuul…”. Suara orang tua itu terdengar dengan keras. Sungguh menjengkelkan. Tati sempat terkejut dan nampak panik ketika kemudian aku berbisik, “Tenang Mbak.., jawab aja.., kita selesaikan dulu ini.., kamu mau kan?” Ia mengangguk seraya tersenyum manis. “Sebentar Pak..”, teriaknya. “Minyak tawonnya keselip entah ke mana.., ini lagi dicari kok…”. Ia tertawa cekikikan, geli mendengar jawaban spontannya sendiri. Namun tawanya itu langsung berubah menjadi jerikan erotis kecil ketika kupukul-pukulkan kepala penisku ke selangkangannya. Perlahan-lahan kutempelkan kepala penisku itu di pintu vaginanya. 

Sambi kuputar-putar kecil kudorong pinggulku perlahan-lahan. Tati ternganga sambil terengah-engah, “aahh.., aahh.., ouhh.., Mas.., besar sekali.., pelan-pelan Mas..pelan-pelanhh..”, dan, “aa…”. Tati menjerit kecil ketika kumasukkan seluruh penisku ke dalam vaginanya yang becek dan terasa sangat sempit dalam posisi berdiri ini. Aku menyodokkan penisku maju mundur dengan gerakan yang percepatannya meningkat dari waktu ke waktu. Tubuh Tati terguncang-guncang, buah dadanya bergayut ke kiri dan kanan dan jeritannya semakin menjadi-jadi. Aku sudah tak peduli kalau ayah Anton sampai mendengarkan jeritan perempuan itu. Nafsuku sudah naik ke kepala. Janda muda ini memang memiliki daya pikat seks yang luar biasa. Walaupun ia hanya seorang perawat, namun kemulusan dan kemontokan badannya sungguh setara dengan perempuan kota jaman sekarang. Sangat terawat dan nikmat sekali bila digesek-gesekkankan di kulit kita. Gerakan pinggulku semakin cepat dan semakin cepat. Mulutku tak puas-puasnya menciumi dan menghisap puting buah dadanya yang meruncing panjang dan keras itu. Buah dadanya yang kenyal itu hampir seluruhnya dibasahi oleh air liurku. Aku memang sedang nafsu berat. Aku merasakan bahwa sebentar lagi aku akan orgasme dan bersamaan dengan itu juga tubuh Tati menegang. Kupercepat gerakan pinggulku dan tiba-tiba, “aahh.., Mas.., Masss…, aku keluarrr.., aahh”, Jeritnya. Saat itu juga kusodokkan penisku ke dalam vagina janda muda itu sekeras-kerasnya dan, “Craat.., craatt.., craat”. “Ahh…, Mbaak”, erangku sambil meringis menikmati puncak orgasme kami yang waktunya jatuh bersamaan itu. 

Kami berpelukan sesaat dan Tati berbisik dengan suara serak. “Mas.., aku ngga pernah dipuasin laki-laki seperti kamu muasin saya.., kamu hebat..”. Aku tersenyum simpul. “Mbak., aku masih punya 1001 teknik yang bisa membuat kamu melayang ke surga ke-7.., ngga bosan kan kalo lain waktu aku praktekkan sama kamu?”. Perlahan Tati menurunkan paha kanannya dan mencabut penisku dari vaginanya. “Bosan? Aku gila apa.., yang beginian ngga akan membuatku bosan.., kalau bisa tiap hari aku mau Mas..”. Benar-benar luar biasa libido perempuan ini. Beruntung aku mempunyai libido yang juga luar biasa besarnya. Sebagai partner seks, kami benar-benar seimbang. Setelah kejadian siang itu, aku dan Tati seperti pengantin baru saja. Tak ada waktu luang yang tak terlewatkan tanpa nafsu dan birahi. Walaupun demikian, aku tekankan pada Tati, bahwa hubungan antara aku dan dia, hanyalah sebatas hubungan untuk memuaskan nafsu birahi saja. Aku dan dia punya hak untuk berhubungan dengan orang lain. Tati si janda muda yang sudah merasakan kenikmatan seks bebas itu tentu saja menyetujuinya. Suatu hari, Tati masuk ke dalam kamarku dan ia berkata, “Mas, aku akan mengambil cuti selama 1 bulan. Aku harus mengurusi masalah tanah warisan di kampungku..”. “Lha.., kalau Mbak pulang, 

siapa yang akan mengurusi Bapak?”, tanyaku sambil membayangkan betapa kosongnya hari-hariku selama sebulan ke depan. “Mas Anto bilang, akan ada adik Bapak yang akan menggantikan aku selama 1 bulan.., namanya Mbak Ine.., dia ngga kimpoi.., umurnya sudah hampir 40 tahun.., orangnya baik kok.., cerewet.., tapi ramah..”. Yah apa boleh buat, aku terpaksa kehilangan seorang teman berhubungan seks yang sangat menggairahkan. Hitung-hitung cuti 1 bulan.., atau kalau berpikir positif.., its time to look for a new partner!!! Hari ini adalah hari ke lima setelah kepergian Tati. Mbak Ine, pengganti sementara Tati, ternyata adalah adik ipar ayah Anto. Jadi, adik istri si bapak tua itu. Mbak Ine adalah seorang perempuan Sunda yang ramah. Wajahnya lumayan cantik, kulitnya berwarna hitam manis, badannya agak pendek dan bertubuh montok. Ukuran buah dadanya besar. Jauh lebih besar dari Tati dan senantiasa berdandan agak menor. Wanita yang berumur hampir 40 tahun itu mengaku belum pernah menikah karena merasa bahwa tak ada laki-laki yang bisa cocok dengan sifatnya yang avonturir. Saat ini ia bekerja secara freelance di sebuah stasiun televisi sebagai penulis naskah. Kemampuan bergaulku dan keramahannya membuat kami cepat sekali akrab. Lagi-lagi, kamarku itu kini menjadi markas curhatnya Mbak Ine. “Panggil saya teh Ine aja deh..”, katanya suatu kali dengan logat Bandungnya yang kental. “Kalau gitu panggil saya Rafi aja ya teh.., ngga usah pake pak pak-an segala..”, balasku sambil tertawa. Baru 5 hari kami bergaul, namun sepertinya kami sudah lama saling mengenal. Kami seperti dua orang yang kasmaran, saling memperhatikan dan saling bersimpati. Persis seperti cinta monyet ketika kita remaja. Saat itu seperti biasa, kami sedang ngobrol santai dari hati ke hati sambil duduk di atas ranjangku. Aku memakai baju kaos dan celana pendek yang ketat sehingga tanpa kusadari tekstur penis dan testisku tercetak dengan jelas. Bila kuperhatikan, beberapa kali tampak teh Ine mencuri-curi melirik selangkanganku yang dengan mudah dilihatnya karena aku duduk bersila. Aku sengaja membiarkan keadaan itu berlangsung. Malah kadang-kadang dengan sengaja aku meluruskan kedua kakiku dengan posisi agak mengangkang sehingga cetakan penisku makin nyata saja di celanaku. Sesekali, ditengah obrolan santai itu, tampak teh Ine melirik selangkanganku yang diikuti dengan nafasnya yang tertahan. 

Kenapa aku melakukan hal ini? Karena libidoku yang luar biasa, aku jadi tertantang untuk bisa meniduri teh Ine yang aku yakini sudah tak perawan lagi karena sifatnya yang avonturir itu. Dan lagi, dari sifatnya yang ramah, ceria, cerewet dan petualang itu, aku yakin di balik tubuh montok perempuan setengah baya tersimpan potensi libido yang tak kalah besar dengan Tati. Juga, gayanya dalam bergaul yang mudah bersentuhan dan saling memegang lengan sering membuat darahku berdesir. Apalagi kalau aku sedang dalam keadaan libido tinggi. Saat ini, teh Ine mengenakan daster berwarna putih tipis sehingga tampak kontras dengan warna kulitnya yang hitam manis itu. Belahan buah dadanya yang besar itu menyembul di balik lingkaran leher yang berpotongan rendah di bagian dada. Dasternya sendiri berpola terusan hingga sebatas lutut sehingga ketika duduk, pahanya yang montok itu terlihat dengan jelas. Aku selalu berusaha untuk bisa mengintip sesuatu yang terletak di antara kedua paha teh Ine. Namun karena posisi duduknya yang selalu sopan, aku tak dapat melihat apa-apa. Bukan main! Ternyata seorang wanita berusia 40-an masih mempunyai daya tarik sexual yang tinggi. Terus terang, baru kali ini aku berani berfantasi mengenai hubungan seks dengan teh Ine. Sementara ia bercerita tentang masa mudanya, pikiranku malah melayang dan membayangkan tubuh teh Ine sedang duduk di hadapanku tanpa selembar benangpun. Alangkah menggairahkannya. Aku seperti bisa melihat dengan jelas seluruh lekuk tubuhnya yang mulus tanpa cacat. Tanpa sadar, penisku menegang dan cairan madzi di ujungnya pun mulai keluar. 

Celanaku tampak basah di ujung penisku, dan cetakan penis serta testisku semakin jelas saja tercetak di selangkangan celanaku. Membesarnya penisku ternyata tak lepas dari perhatian teh Ine. Tampak jelas terlihat matanya terbelalak melihat ukuran penisku yang membesar dan tercetak jelas di celana pendekku. Obrolan kami mendadak terhenti karena beberapa saat teh Ine masih terpaku pada selangkanganku. “Kunaon teh..?”, tanyaku memancing. “Eh.., enteu.., kamu teh mikirin apa sih…?”, katanya sambil tersenyum simpul. “Mikirin teh Ine teh.., entah kenapa barusan saya membayangkan teh Ine nggak pakai apa-apa.., aduh indahnya teh..”, tiba-tiba saja jawaban itu meluncur dari mulutku. Aku sendiri terkejut dengan jawabanku yang sangat terus terang itu dan sempat membuatku terpaku memandang wajah teh Ine. Wajah teh Ine tampak memerah mendengar jawabanku itu. Napasnya mendadak memburu. Tiba-tiba teh Ine bangkit dari duduknya dan berjalan menuju pintu. Ia menutup pintu kamarku dan menguncinya. Leherku tercekat, dan kurasakan jantungku berdegup semakin kencang. Dengan tersenyum dan sorot mata nakal ia menghampiriku dan duduk tepat di hadapan selangkanganku. Aku memang sedang dalam posisi selonjor dengan kedua kaki mengangkang. “Fi, kamu pingin sama teteh..? Hmm?”, Desahnya seraya meraba penis tegangku dari luar celana. Aku menelan ludah sambil mengangguk perlahan dan tersenyum. Entah mengapa, aku jadi gugup sekali melihat wajah teh Ine yang semakin mendekat ke wajahku. Tanpa sadar aku menyandarkan punggungku ke tembok di ujung ranjang dan teh Ine menggeser duduknya mendekatiku sambil tetap menekan dan membelai selangkanganku. Nafas teh Ine yang semakin cepat terasa benar semakin menerpa hidung dan bibirku. Rasa nikmat dari belaian jemari teh Ine di selangkanganku semakin terasa keujung syaraf-syarafku. Napasku mulai memburu dan tanpa sadar mulutku mulai mengeluarkan suara erangan-erangan. Dengan lembut teh Ine menempelkan bibirnya di atas bibirku. Ia memulainya dengan mengecup ringan, menggigit bibir bawahku, dan tiba-tiba.., lidahnya memasuki mulutku dan berputar-putar di dalamnya dengan cepat. Langit-langit mulutku serasa geli disapu oleh lidah panjang milik perempuan setengah baya yang sangat menggairahkan itu. Aku mulai membalas ciuman, gigitan, dan kuluman teh Ine. 

Sambil berciuman, tangan kananku kuletakkan di buah dada kiri teh Ine. Uh.., alangkah besarnya.., walaupun masih ditutupi oleh daster, keempukan dan kekenyalannya sudah sangat terasa di telapak tanganku. Dengan cepat kuremas-remas buah dada teh Ine itu, “Emph.., emph..”, rintihnya sambil terus mengulum lidahku dan menggosok-gosok selangkanganku. Mendadak teh Ine menghentikan ciumannya. Ia menahan tanganku yang tengah meremas buah dadanya dan berkata, “Fi, sekarang kamu diam dulu yah.., biar teteh yang duluan..”. Tiba-tiba dengan cepat teh Ine menarik celana pendekku sekalian dengan celana dalamku. Saking cepatnya, penisku yang menegang melejit keluar. Sejenak teh Ine tertegun menatap penisku yang berdiri tegak laksana tugu monas itu. “Gusti Rafi.., ageung pisan..”, bisiknya lirih. Dengan cepat teh Ine menundukkan kepalanya, dan seketika tubuhku terasa dialiri oleh aliran listrik yang mengalir cepat ketika mulut teh Ine hampir menelan seluruh penisku. Terasa ujung penisku itu menyentuh langit-langit belakang mulut teh Ine. Dengan sigap teh Ine memegang penisku sementara lidahnya memelintir bagian bawahnya. Kepala teh Ine naik turun dengan cepat mengiringi pegangan tangannya dan puntiran lidahnya. Aku benar-benar merasa melayang di udara ketika teh Ine memperkuat hisapannya. Aku melirik ke arah kaca riasku, dan di sana tampak diriku terduduk mengangkang sementara teh Ine dengan dasternya yang masih saja rapi merunduk di selangkanganku dan kepalanya bergerak naik turun. Suara isapan, jilatan dan kecupan bibir perempuan montok itu terdengar dengan jelas. Kenikmatan ini semakin menjadi-jadi ketika kurasakan teh Ine mulai meremas-remas kedua bola testisku secara bergantian. Perutku serasa mulas dan urat-urat di penisku serasa hendak putus karena tegangnya. Teh Ine tampak semakin buas menghisapi penisku seperti seseorang yang kehausan di padang pasir menemukan air yang segar. Jari-jemarinyapun semakin liar mempermainkan kedua testisku. “Slurrp.., Cuph.., Mphh..”. Suara kecupan-kecupan di penisku semakin keras saja. Nafsuku sudah naik ke kepala. Aku berontak untuk berusaha meremas kedua buah dada montok dan besar milik wanita lajang berusia setengah baya itu, namun tangan teh Ine dengan kuat menghalangi tubuhku dan iapun semakin gila menghisapi dan menjilati penisku. Aku mulai bergelinjang-gelinjang tak karuan. 

“Teh Ine.., teeeh…, gantian dongg.., please.., saya udah ngga kuaat…, aahh.., sss..”, erangku seakan memohon. Namun permintaanku tak digubrisnya. Kedua tangan dan mulutnya semakin cepat saja mengocok penisku. Terasa seluruh syaraf-syarafku semakin menegang dan menegang, degup jantungku berdetak semakin kencang.. napaskupun makin memburu. “Oohh…, Teh Ine.., Teh Ineee…, aahh….”, Aku berteriak sambil mengangkat pinggulku tinggi-tinggi dan, “Crat.., craat.., craat”, aku memuncratkan spermaku di dalam mulut teh Ine. Dengan sigap pula teh Ine menelan dan menjilati spermaku seperti seorang yang menjilati es krim dengan nikmatnya. Setiap jilatan teh Ine terasa seperti setruman-setruman kecil di penisku. Aku benar-benar menikmati permainan ini.., luar biasa teh Ine, “Enak Fi..? Hmm?”, teh Ine mengangkat kepalanya dari selangkanganku dan menatapku dengan senyum manisnya, tampak di seputar mulutnya banyak menempel bekas-bekas spermaku. “Fuhh nikmatnya sperma kamu Fi..” Bisiknya mesra seraya menjilat sisa-sisa spermaku di bibirnya. “Obat awet muda ya teh..”, kataku bercanda. “Yaa gitulah…, antosan sekedap nya? Biar teteh ambilkan minum buat kamu”. Oh my God.., benar-benar seorang wanita yang penuh pengabdian, dia belum mengalami orgasme apa-apa tapi perhatiannya pada pasangan lelakinya luar biasa besar, sungguh pasangan seks yang ideal! Kenyataan itu saja membuat rasa simpati dan birahiku pada teh Ine kembali bergejolak. 

Teh Ine kembali dari luar membawa segelas air. “Minum deh.., biar kamu segeran..”. “Nuhun teh.., tapi janji ya abis ini giliran saya muasin teteh..”. Aku meneguk habis air dingin buatan teh Ine dan saat itu pula aku merasakan kejantananku kembali. Birahiku kembali bergejolak melihat tubuh montok teh Ine yang ada di hadapanku. Aku meraih tangan teh Ine dan dengan sekali betot kubaringkan tubuhnya yang molek itu di atas ranjang. “Eeehh.., pelan-pelan Fi..”, teriak teh Ine dengan geli. “Teteh mau diapain sih… “, lanjutnya manja. Tanpa menjawab, aku menindih tubuh montok itu, dan sekejap kurasakan nikmatnya buah dada besar itu tergencet oleh dadaku. Juga, syaraf-syaraf sekitar pinggulku merasakan nikmatnya penisku yang menempel dengan gundukan vaginanya walaupun masih ditutupi oleh daster dan celana dalamnya. Kupandangi wajah teh Ine yang bundar dan manis itu. Kalau diperhatikan, memang sudah terdapat kerut-kerut kecil di daerah mata dan keningnya. Tapi peduli setan! Teh Ine adalah seorang wanita setengah baya yang paling menggairahkan yang pernah kulihat. Pancaran aura sexualnya sungguh kuat menerangi sanubari lelaki yang memandangnya. “Teteh mau tau apa yang ingin saya lakukan terhadap teteh?”, Kataku sambil tersenyum. “Saya akan memperkosa teteh sampai teteh ketagihan”. Lalu dengan ganas, aku memulai menciumi bibir dan leher teh Ine. Teh Inepun dengan tak kalah ganasnya membalas ciuman-ciumanku. Keganasan kami berdua membuat suasana kamarku menjadi riuh oleh suara-suara kecupan dan rintihan-rintihan erotis. Dengan tak sabar aku menarik ritsluiting daster teh Ine, kulucuti dasternya, BH-nya, dan yang terakhir.., celana dalamnya. 

Wow.., sebuah gundukan daging tanpa bulu sama sekali terlihat sangat menantang terletak di selangkangan teh Ine. My God.., alangkah indahnya vagina teh Ine itu.., tak pernah kubayangkan bahwa ia mencukur habis bulu kemaluannya. “Kamu juga buka semua dong Fi”, rengeknya sambil menarik baju kaosku ke atas. Dalam sekejap, kami berdua berdua berpelukan dan berciuman dengan penuh nafsu dalam keadaan bugil! Sambil menindih tubuhnya yang montok itu, bibirku menyelusuri lekuk tubuh teh Ine mulai dari bibir, kemudian turun ke leher, kemudian turun lagi ke dada, dan terus ke arah puting susu kirinya yang berwarna coklat kemerah-merahan itu. Alangkah kerasnya puting susunya, alangkah lancipnnya.., dan mmhh.., seketika itu juga kukulum, kuhisap dan kujilat puting kenyal itu.., karena gemasnya, sesekali kugigit juga puting itu. “Auuhh.., Fi.., gellii.., sss.., ahh”, rintihnya ketika gigitanku agak kukeraskan. Badan montoknya mulai mengelinjang-gelinjang ke sana k emari.., dan mukanya menggeleng-geleng ke kiri dan ke kanan. Sambil menghisap, tangan kananku merayap turun ke selangkangannya. Dengan mudah kudapati vaginanya yang besar dan sudah sangat becek sekali. Akupun dengan sigap memain-mainkan jari tenganku di pintu vaginanya. “Crks.., crks.., crks”, terdengar suara becek vagina teh Ine yang berwarna lebih putih dari kulit sekitarnya. Ketika jariku mengenai gundukan kecil daging yang mirip dengan sebutir kacang, ketika itu pula wanita setengah baya itu menjerit kecil. “Ahh.., geli Fi.., gelli”, Putaran jariku di atas clitoris teh Ine dan hisapanku pada kedua puting buah dadanya makin membuat lajang montok berkulit hitam manis itu semakin bergelinjang dengan liar. “Fi.., masukin sekarang Fi.., sekarang.., please.., teteh udah nggak tahan..ahh..”. 

Kulihat wajah teh Ine sudah meringis seperti orang kesakitan. Ringisan itu untuk menahan gejolak orgasmenya yang sudah hampir mencapai puncaknya. Dengan sigap kuarahkan penisku ke vagina montok milik teh Ine.., kutempelkan kepala penisku yang besar tepat di bawah clitorisnya, kuputar-putarkan sejenak dan teh Ine meresponnya dengan mengangkangkan pahanya selebar-lebarnya untuk memberi kemudahan bagiku untuk melakukan penetrasi.., saat itu pula kusodokkan pantatku sekuat-kuatnya dan, “Blesss”, masuk semuanya! “Aahh….” Teh Ine menjerit panjang.., “Besar betul Fi.., auhh…., besar betuull…, duh gusti enaknya.., aahh..”. Dengan penuh keganasan kupompa penisku keluar masuk vagina teh Ine. Dan iapun dengan liarnya memutar-mutar pinggulnya di bawah tindihanku. Astaga.., benar-benar pengalaman yang luar biasa! Bahkan keliaran teh Ine melebihi ganasnya Mbak Tati.., luar biasa! Kedua tubuh kami sudah sangat basah oleh keringat yang bercampur liur. Kasurkupun sudah basah di mana-mana oleh cairan mani maupun lendir yang meleleh dari vagina teh Ine, namun entah kekuatan apa yang ada pada diri kami…, kami masih saling memompa, merintih, melenguh, dan mengerang. Bunyi ranjangkupun sudah tak karuan.., “Kriet.., kriet.., krieeet”, sesuai irama goyangan pinggul kami berdua. Penisku yang besar itu masih dengan buasnya menggesek-gesek vagina teh Ine yang terasa sempit namun becek itu. Setelah lebih dari 15 menit kami saling memompa, tiba-tiba kurasakan seluruh tubuh teh Ine menegang. 

“Fi.., Fi.., Teteh mau keluar..”. “Iya teh, saya juga.., kita keluar sama-sama teh…”, Goyanganku semakin kupercepat dan pada saat yang bersamaan kami berdua saling berciuman sambil berpelukan erat.., aku menancapkan penisku dalam-dalam dan teh Ine mengangkat pinggulnya tinggi-tinggi…, “Crat.., crat.., crat.., crat”, kami berdua mengerang dengan keras sambil menikmati tercapainya orgasme pada saat yang bersamaan. Kami sudah tak peduli bila seisi rumah akan mendengarkan jeritan-jeritan kami, karena aku yakin teh Inepun tak pernah merasakan kenikmatan yang luar biasa ini sepanjang hidupnnya. “Ahh.., Fi.., kamu hebaat.., kamu hebaathh.., hh.., Teteh ngga pernah ngerasain kenikmatan seperti ini”. “Saya juga teh.., terima kasih untuk kenikmatan ini..”, Kataku seraya mengecup kening teh Ine dengan mesra. “Mau tau suatu rahasia Fi?”, tanyanya sambil membelai rambutku, “Teteh sudah lima tahun tidak bersentuhan dengan laki-laki.., tapi entah kenapa, dalam 5 hari bergaul dengan kamu.., teteh tidak bisa menahan gejolak birahi teteh.., ngga tau kenapa.., kamu itu punya aura seks yang luar biasa..”. Teh Ine bangkit dari ranjangku dan mengambil sesuatu dari kantong dasternya. Sebutir pil KB. “Seperti punya fitasat, teteh sudah minum pil ini sejak 3 hari yang lalu..”, katanya tersenyum, “Dan akan teteh minum selama teteh ada di sini..”, Teh Ine mengerdipkan matanya padaku dengan manja sambil memakai dasternya. “Selamat tidur sayang…”, Teh Ine melangkah keluar dari kamarku. Teh Ine memang luar biasa. Ia bukan saja dapat menggantikan kedudukan Tati sebagai partner seks yang baik, tetapi juga memberi sentuhan-sentuhan kasih sayang keibuan yang luar biasa. Aku benar-benar dimanja oleh wanita setengah baya itu. Fantasi sexualnya juga luar biasa. Mungkin itu pengaruh dari pekerjaannya sebagai penulis cerita drama. Coba bayangkan, ia pernah memijatku dalam keadaan bugil, kemudian sambil terus memijat ia bisa memasukkan penisku ke dalam vaginanya, dan aku disetubuhi sambil terus menikmati pijatan-pijatannya yang nikmat. 

Ia juga pernah meminta aku untuk menyetubuhinya di saat ia mandi pancuran di kamar mandi dan kami melakukannya dengan tubuh licin penuh sabun. Dan yang paling sensasional adalah.., Sore itu aku sudah berada di rumah. Karena load pekerjaan di kantorku tidak begitu tinggi, aku sengaja pulang cepat. Selesai mandi aku duduk di meja makan sambil menikmati pisang goreng buatan teh Ine. Perempuan binal itu memang luar biasa. Ia melayaniku seperti suaminya saja. Segala keperluan dan kesenanganku benar-benar diperhatikan olehnya. Seperti biasa, aku mengenakan baju kaos buntung dan celana pendek longgar kesukaanku dan (seperti biasa juga) aku tidak menggunakan celana dalam. Kebiasaan ini kumulai sejak adanya teh Ine di rumah ini, karena bisa dipastikan hampir tiap hari aku akan menikmati tubuh sintal adik ipar ayah si Anto itu. Sore itu sambil menikmati pisang goreng di meja makan, aku bercakap-cakap dengan ayah Anto. Orang tua itu duduk di pojok ruangan dekat pintu masuk untuk menikmati semilirnya angin sore kota Bandung. Jarak antara aku dengannya sekitar 6 meter. Sambil bercakap-cakap mataku tak lepas dari teh Ine yang mondar mandir menyediakan hidangan sore bagi kami. Entah ke mana PRT kami saat itu. Teh Ine mengenakan celana pendek yang ditutupi oleh kaos bergambar Mickey Mouse berukuran ekstra besar sehingga sering tampak kaos itu menutupi celana pendeknya yang memberi kesan teh Ine tidak mengenakan celana. Aku berani bertaruh perempuan itu tidak menggunakan BH karena bila ia berjalan melenggang, tampak buah dadanya bergayut ke atas ke bawah, dan di bagian dadanya tercetak puting buah dadanya yang besar itu. Tanpa sadar batang penisku mulai membesar. Setelah selesai dengan kesibukannya, teh Ine duduk di sebelah kiriku dan ikut menikmati pisang goreng buatannya. Kulihat ia melirik ke arahku sambil memasukkan pisang goreng perlahan-lahan ke dalam mulutnya. Sambil mengerdipkan matanya, ia memasukkan dan mengeluarkan pisang goreng itu dan sesekali menjilatnya. Sambil terus berbasa basi dengan orang tua Anto, 

aku menelan ludah dan merasakan bahwa urat-urat penisku mulai mengeras dan kepala penisku mulai membesar. Tiba-tiba kurasakan jari-jemari kanan teh Ine menyentuh pahaku. Lalu perlahan-lahan merayap naik sampai di daerah penisku. Dengan gemas teh Ine meremas penis tegangku dari luar celanaku sehingga membuat cairan beningku membuat tanda bercak di celanaku. Setelah beberapa lama meremas-remas, tangan itu bergerak ke daerah perut dan dengan cepat menyelip ke dalam celana pendekku. Aku sudah tidak tahu lagi apa isi percakapan orang tua Anto itu. Beberapa kali ia mengulangi pertanyaannya padaku karena jawabanku yang asal-asalan. Degup jantungku mulai meningkat. Jemari lentik itu kini sudah mencapai kedua bolaku. Dengan jari telunjuk dan tengah yang dirapatkan, perempuan lajang itu mengelus-elus dan menelusuri kedua bolaku.., mula-mula berputar bergantian kiri dan kanan kemudian naik ke bagian batang.., terus bergerak menelusuri urat-urat tegang yang membalut batang kerasku itu, “sss…, teteh..”. Aku berdesis ketika kedua jarinya itu berhenti di urat yang terletak tepat di bawah kepala penisku.., itu memang daerah kelemahanku.., dan perempuan sintal ini mengetahuinya.., kedua jemarinya menggesek-gesekkan dengan cepat urat penisku itu sambil sesekali mencubitnya. “aahh…”, erangku ketika akhirnya penisku masuk ke dalam genggamannya. “Kenapa Rafi?”, Orang tua yang duduk agak jauh di depanku itu mengira aku mengucapkan sesuatu. “E.., ee…, ndak apa-apa Pak..”, Jawabku tergagap sambil kembali meringis ketika teh Ine mulai mengocok penisku dengan cepat. Gila perempuan ini! Dia melakukannya di depan 
kakaknya sendiri walaupun tidak kelihatan karena terhalang meja. 

“Saya cuma merasa segar dengan udara Bandung yang dingin ini..”, Jawabku sekenanya. “Ooo begitu.., saya pikir kamu sakit perut.., habis tampangmu meringis-meringis begitu..”, Orang tua itu terkekeh sambil memalingkan mukanya ke jalan raya. Begitu kakaknya berpaling, teh Ine dengan cepat merebahkan kepalanya ke pangkuanku sehingga dari arah ayah Anto, teh Ine tak tampak lagi. Dengan cepat tangannya memelorotkan celanaku sehingga penisku yang masih digenggamnya dengan erat itu terasa dingin terterpa angin. Sejenak perempuan itu memandang penis besarku itu.., ia selalu memberikan kesempatan pada matanya untuk menikmati ukuran dan kekokohannya. Kemudian teh Ine menjulurkan lidahnya dan mulai menjilat mengelilingi lubang penisku.., kemudian ia memasukkan ujung lidahnya ke ujung lubang penisku dan mengecap cairan beningku.., lalu lidahnya diturunkan lagi-lagi ke urat di bawah penisku. Aku mulai menggelinjang-gelinjang tak karuan, walaupun dengan hati-hati takut ketahuan oleh kakak teh Ine yang duduk di depanku. Tanganku mulai meraba-raba buah dadanya yang besar itu dan meremasnya dengan gemas, “sss.., teeehh..”, desisku agak keras ketika perempuan itu dengan kedua bibirnya menyedot urat di bawah kepala penisku itu.., sementara tangannya meremas-remas kedua bolaku…, aawwww nikmatnya…, aku begitu terangsang sehingga seluruh pori-pori kulitku meremang dan mukaku berwarna merah. Aku sudah dalam tahap ingin menindih dan sesegera mungkin memasukkan penisku ke dalam vagina perempuan ini tapi semua itu tak mungkin kulakukan di depan kakaknya yang masih duduk di depanku menikmati lalu lalang kendaraan di depan rumahnya. Tiba-tiba bibir teh Ine bergerak dengan cepat ke kepala penisku.., sambil terus kupermainkan putingnya kulihat ia membuka mulutnya dengan lebar dan tenggelamlah seluruh penisku ke dalam mulutnya. Aku kembali mendesis dan meringis sambil tetap duduk di meja makan mendengarkan ocehan orang tua Anto yang kembali mengajakku berbincang. Mulut teh Ine dengan cepat menghisap dan bergerak maju mundur di penisku. Tanganku menarik dasternya ke atas dari arah punggung sehingga terlihatlah pantatnya yang mulus tidak ditutupi oleh selembar benangpun. 

Aku ingin menjamah vaginanya, ingin rasanya kumasukkan jari-jariku dengan kasar ke dalamnya dan kukocok-kocok dengan keras tapi aku sudah tak kuat lagi. Jilatan lidah, kecupan, dan sedotan teh Ine di penisku membuat seluruh syarafku menegang. Tiba-tiba kujambak rambut teh Ine dan kutekan sekuat-kuatnya sehingga seluruh penisku tenggelam ke dalam mulutnya. Kurasakan ujung penisku menyentuh langit-langit tenggorokan teh Ine dan, “Creeet…, creeett…, creeettt”, menyemburlah cairan maniku ke mulut teh Ine. “Ahh…, aahh.., aahh.., tetteeehh…”, Aku meringis dan mendesis keras ketika cairan maniku bersemburan ke dalam mulut teh Ine. Perempuan itu dengan lahap menjilati dan menelan seluruh cairanku sehingga penisku yang hampir layu kembali sedikit menegang karena terus-terusan dijilat. Aku memejamkan mataku.., gilaa.., permainan ini benar-benar menakjubkan. Ada rasa was-was karena takut ketahuan, tapi rasa was-was itu justru meningkatkan nafsuku. Teh Ine memandang penisku yang sudah agak mengecil namun tetap saja dalam posisi tegak. “Luar biasa…”, Bisiknya, “Siap-siap nanti malam yah?” Katanya sambil bangkit dan beranjak ke dapur. Aku cukup kagum dengan prestasi yang kucapai di rumah ini. Baru 2 bulan di Bandung, aku sudah bisa meniduri 2 orang wanita yang sudah lama tidak pernah menikmati sentuhan lelaki. Dan wanita-wanita itu, aku yakin akan selalu termimpi-mimpi akan besar dan nikmatnya gesekan penisku di dalam vagina mereka.
Share:

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut

Total Tayangan Halaman

Labels

Adik ipar adult Apotek Penjual Cytotec Di Semarang Barat Belia berhubungan badan Bokep cara membuat anak Cerita Cerita Dewasa Cytotec Di Batam Daun Muda Download Bokep Untuk HP Terbaru Film Film Baru 2016 Film Dewasa Film Semi Guru hardcore Hot Info hubungan pribadi janda jual klg pills Jual Obat Aborsi Batam Jual Obat Aborsi Cod Jakarta Jual Obat Aborsi Cytotec Asli Malang Jual Obat Aborsi Cytotec Di Denpasar Jual Obat Aborsi Cytotec Di Makasar jual obat aborsi cytotec jepara Jual Obat Aborsi Cytotec Surabaya Jual Obat Aborsi Denpasar Jual Obat Aborsi Denpasar Bali Jual Obat Aborsi Di Batam Jual Obat Aborsi Di Jakarta jual obat aborsi di jepara Jual Obat Aborsi Di Jombang Jual Obat Aborsi Di Makasar Jual Obat ABorsi Di Malang Jawa Timur Jual Obat Aborsi Jakarta Jual obat aborsi jepara Jual Obat Aborsi Jombang Jual Obat Aborsi Lamongan Jual Obat Aborsi Lamongan Jawa Timur Jual Obat Aborsi Makasar Jual Obat Aborsi Malang Jual Obat Aborsi Semarang Jual Obat Aborsi Surabaya jual obat bius hirup jual obat bius semprot jual obat bius serbuk Jual Obat Cytotec Lamongan jual obat pembesar klg klg herbal klg pills Lainnya love Mahasiswi malam pertama mengandung mesum 2017 ngentot mama Obat Aborsi Asli Batam Obat Aborsi Cytotec Jombang Obat Aborsi Cytotec Semarang Obat Aborsi Cytotec Surabaya Obat Aborsi Denpasar Bali Obat Aborsi Di Kota Batam Obat Aborsi Jombang obat bius obat bius bekap obat bius chloroform obat bius pingsan obat bius spray obat bius wanita Obat Cytotec Di Jombang obat klg Obat Perangsang Obat Telat Bulan Semarang Obat Tidur obat tidur murah pembesar penis klg Pemerkosaan Perawan Perselingkuhan Pesta Sexs relationships Sedarah Setengah Baya sex Sex Sekolah sex smp Tante Teman tetangga Threesome Toko Obat Cytotec Di Jakarta

sponsor

sponsor

Banner

Labels

Popular Post

Labels

Recent Posts

Pages

Theme Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.